Jumat, 04 Desember 2009

Mimpi Pewaris Pertiwi (Cerpen)

Oleh
: Maharani


Hidup terkadang tak menyisakan tempat bagi orang seperti aku. Terlahir dari keluarga petani yang hanya memiliki sepetak sawah dengan ukuran tak lebih dari 10 m2. hasil panen hanya cukup untuk makan selama 2 bulan. Itupun harus menunggu 3 bulan sejak padi ditanam. Untuk menyiasati kebutuhan pangan kami yang terbilang keluarga besar ini, ibu seringkali mencampur beras dengan singkong pada saat memasak. Kau pasti akan bertanya bagaimana rasanya, bukan? Sebab aku tahu bahwa kau tak pernah kekurangan. Kau hidup berkecukupan. Entah mengapa kita bisa bersahabat seperti ini, walaupun hanya dalam surat.


Aku seringkali merasa iri melihat kehidupanmu. Kalau mau makan, tinggal panggil pembantu dan semuanya akan tersedia, kau tinggal menyuap. Bila untuk sekedar menyuap pun kau malas, maka ada banyak orang yang akan menyuapimu. Pagi hari kau akan berteriak dan sepuluh orang pembantu akan bergegas menyiapkan segala kebutuhanmu. Mandi air panas, pakaian rapi, sepatu yang telah disemir dan tas sekolah yang setiap seminggu sekali akan berganti.
Bagiku kehidupanmu ibarat putri yang kubaca dari novel ‘putri dari negri dongeng.’ Awalnya aku tak pernah tahu bahwa kehidupan yang serba sempurna itu ada di bumi ini. Aku hanya berani berharap bahwa Allah akan bermurah hati untuk memberiku tempat di surga agar aku bisa merasakan semua kenikmatan itu. sebab yang ku tahu surga itu tempat yang paling menyenangkan. Apapun yang kau minta dengan segera akan dikabulkan. katanya di sana juga ada sungai yang mengalirkan air yang bening. Juga ada sungai susu. Aku ingin sekali mandi di sungai itu. meminum airnya yang segar.


Di surga juga banyak bidadari-bidadari cantik. Ingin sekali rasanya seperti mereka. Aku juga tahu bahwa orang-orang soleh yang mendiami surga jauh lebih cantik daripada bidadari-bidadari itu. sekarang aku tak pernah lagi meninggalkan shalat, mengaji dan terkadang aku juga puasa senin kamis. Ya, semoga Allah mengizinkanku tinggal di surganya. Oh ya,tidak hanya aku tapi juga orang tua dan semua keluargaku. Hei, kau juga jangan lupa shalat ya, biar kita bisa bertemu di surga nanti. Katanya orang-orang yang berbuat baik akan kembali dipertemukan di sana. Itu yang ku tahu dari ustadz di masjid tempat aku mengaji selepas membantu ayah di sawah.
Aku terlalu penjang bercerita tentang surga. Apa kau percaya surga itu ada? Kalau aku, aku percaya sekali.


Tapi mengapa kau selalu mengeluh dalam surat yang kau kirimkan padaku? Padahal kau mendapatkan surga dunia. Kau bilang ingin hidup bebas sepertiku. Kau juga bilang ingin bermain layang-layang di tengah sawah dan berkejaran dengan teman-teman. Apa benar Jakarta sudah tak menyisakan tempat sekedar untuk bermain layang-layang? Guruku di sekolah pernah berkata bahwa Jakarta menjadi pusat pembangunan Negara kita. Pasti banyak sekali gedung-gedung tinggi, tempat bermain yang modern dan jalan-jalan yang lebar. Ingin sekali rasanya aku menginjakkan kaki di ibu kota pertiwi. Namun, aku harus puas untuk sekedar bermimpi. Ustadzku pernah bilang bahwa kita harus mensyukuri kehidupan yang kita miliki. Karena ada banyak orang yang jauh lebih tak beruntung di sana. Tapi dimana? Aku juga tak tahu. Di desaku, akulah orang yang paling miskin.


Dalam suratmu yang lain kau bercerita bahwa kau ingin pergi jauh dari rumahmu yang penuh dengan kemewahan. Ada apa denganmu? Di suratmu kau bercrita bahwa kehidupan yang kau jalani tak mampu membahagiakanmu. Aku terheran-heran membaca kisahmu. Bagiku, sekali lagi ku katakana bahwa hidupmu adalah kehidupan ideal yang yang diimpikan semua orang, tapi kau mengatakan bahwa kau tak lagi betah tinggal di ‘istana’ orang tuamu.


Semenderita apakah kau di sana? Toh, sepahit apapun hidupmu kau tak pernah berkeringat di bawah terik matahari untuk mencangkul sawah dan menanam padi. Kau juga tak pernah memikul beban yang beratnya hampir sama dengan masa tubuhmu. Bahkan aku berani bartaruh bahwa kakimu hampir tak pernah menginjak tanah, apalagi lumpur sedalam paha. Lantas apalagi yang membuatmu tak betah tinggal di rumah?


Aku terus menjalani hidupku apa adanya. Karena waktu tak pernah mau berkompromi untuk sekedar berhenti sejenak agar aku bisa melepas lelah. Pagi hari aku akan mengantar dagangan ibu ke pasar sebelum berangkat ke sekolah. Pulang sekolah aku membantu ayah mengolah sawah atau kebun kecil di belakang rumah kami. Ayah menanam beberapa jenis sayur sekedar untuk memenuhi kebutuhan kami. Karena aku sangat suka duren, maka sewaktu kecil dulu aku menanam pohon duren di kebun itu. pada saat musim buah aku bisa mencicipi duren sama seperti orang lain. Kau di sana pasti tinggal beli kan? Tinggal pilih mana yang paling kau suka. Tapi sekali-kali kau harus mencoba duren yang langsung jatuh dari pohonnya. Legit sekali dan rasanya sangat enak karena masih baru. Tak perlu pakai proses pengkarbitan yang sejatinya tak bisa menandingi rasa duren yang matang di pohon.


Alhamdulillah, aku lulus ujian akhir nasional tingkat SD. Kau pasti juga lagi merayakan kelulusanmu. Bagaimana nilai yang kau peroleh? Aku mendapatkan nilai rata-rata 8,5. Ya, syukurlah aku bisa memberikan yang terbaik untuk orang tuaku walaupun orang lain mendapatkan yang jauh lebih baik. Hei, bagaimana denganmu? Tentunya kau mendapat nilai 9 atau bisa jadi 10. Bukankah kau pernah bercerita bahwa setiap hari kau mendapatkan les tambahan di rumah untuk mata pelajaran eksak dan Bahasa Inggris, dengan guru privat yang di datangkan orang tuamu. Aku yakin kau mendapat nilai yang sempurna. Terus terang aku iri sekali dengan kehidupanmu. Aku ingin sekali bisa berbahasa Inggris dengan lancar. Aku ingin suatu hari nanti bisa menyambangi Eropa dan Amerika. Hmm, itu karena ceritamu yang sangat menarik. Kau mengatakan dalam suratmu bahwa Eropa sangat cantik ketika musim semi tiba, tapi entah mengapa aku sangat menyukai saljunya. Buku yang kau kirimkan bersama suratmu telah merubah impian dan cita-citaku. Aku ingin menjadi pilot, agar aku bisa menerbangkan pesawat ke negeri-negeri yang indah. Di buku itu aku melihat peradaban dunia. Betapa ilmu pengetahuan telah menghadirkan kemewahan ‘surga.’ Entahlah. Tak banyak yang terpikir olehku selain keinginan yang besar untuk bisa datang langsung ke sana dan menyaksikan pesona alam yang lain.


Oh ya, kau akan melanjutkan sekolah kemana? Kemana pun nantinya kau bersekolah, aku berharap kita masih tetap berteman dan saling berkirim surat untuk terus bertukar pengalaman dan mimpi-mimpi yang hadir setiap harinya. Kau tahu? Kemaren aku menceritakan keindahan Eropa kepada ustadzku. Bisa kau tebak apa komentarnya? Katanya, ‘Subhanallah! Allah bena-benar Maha Agung dan Maha Kuasa. Apapun mampu Dia hadirkan di bumi ini. Keindahan Eropa tak sebanding dengan keindahan surga. Surga jauh lebih indah. Sampai kini aku tak bisa membayangkan bahwa keindahan Eropa hanyalah percikan keindahan surga.


Sehabis mata pelajaran terakhir aku di panggil kepala sekolah. Dia mengatakan bahwa ada surat untukku. Aku girang sekali. Pasti itu surat darimu. Aku sudah tidak sabar membaca ceritamu. Karena sangat merindukan kahadiran suratmu yang terbilang telat, di tengah jalan aku membaca surat itu. dan sayang sekali surat itu jatuh ke tanah yang becek. Akibatnya aku harus menjemur surat itu terlebih dulu.


Betapa kagetnya aku ketika membaca suratmu. Kau mengatakan bahwa kau benar-benar tidak tahan tinggal di rumah yang bagai neraka. Setiap hari kau harus mengikuti jadwal yang telah disusun oleh orang tuamu. Mandi, sarapan, les ini dan itu dan terkadang menemani orang tuamu menemui relasi bisnisnya. Ya, cukup melelahkan. Kau juga mengatakan bahwa kau tak diizinkan keluar rumah tanpa pengawalan yang ketat dari bodyguard yang disewa ayahmu. Cita-citamu juga dibatasi. Kau dibentuk untuk menjadi pewaris perusahaan raksasa milik keluargamu. Rumahmu juga sepi karena tak ada saudara, kau anak tunggal. Ayah dan ibumu akan pulang tengah malam, bangun ketika kau sudah berangkat sekolah dan pergi lagi sebelum kau pulang. Oh ya, jadi kapan kau bisa bertemu mereka? Mereka juga tak jarang keluar kota atau bahkan keluar negeri untuk urusan bisnisnya dan akan kembali dalam satu atau dua minggu. Kau hanya ditemani pembantu-pembantu yang kaku dan selalu menjaga jarak darimu. Kau paham bahwa itu adalah aturan main yang ditetapkan oleh orang tuamu bagi para pembantu rumah tangga. Katanya agar para pembantu itu tak memberikan pengaruh yang buruk bagimu. Ketika terlihat mereka berbincang dengan akrab bersamamu, besoknya mereka akan dipecat. Kau menangis dalam suratmu karena tak izinkan untuk menjadi seorang guru. Cita-cita yang sungguh mulia bagiku. Tapi entah mengapa orang tuamu tak bisa memahaminya. Toh, keberhasilan mereka tak lepas dari peran seorang guru. Kau merindukan kehangatan, cinta dan kasih sayang.


Sebentar, ada tulisan yang hilang di sini. Pasti karena jatuh di tanah becek tadi sehingga tulisannya terhapus.
Aku menulis surat balasan dan menanyakan isi suratmu yang tak bisa ku baca. aku juga bercerita bahwa saat ini aku telah mendapatkan mata pelajaran bahasa Inggris. Aku yakin sekali cita-citaku menjadi pilot akan terwujud. Kau harus mendoakanku. Nanti kalau kau pergi ke Eropa lagi, akulah pilotnya. Hahahaha. Mimpi yang indah bukan? Kau akan kuizinkan duduk di dekatku saat aku mengemudikan pesawat. Mungkinkah itu?


Satu bulan, satu semester, satu tahun aku terus menantikan surat darimu. Tapi sejak suratmu yang terakhir tak ada surat yang kau kirim. Apa kau marah padaku? Kenapa? Aku terus mengirim surat padamu sesuai kesepakatan kita. Sebulan sekali. Apa kau lupa? Aturan itu belum kita ganti, mengapa kau tak kunjung membalas suratku? Sekarang aku sudah kelas 3 SMA. Sudah 5 tahun sejak suratmu yang terakhir. Aku masih setia mengirim surat, berharap akan ada balasan darimu. Aku terus bercerita tentang masa SMA yang kulalui. Cukup bahagia walaupun keseharianku tak banyak berubah. Pagi hari aku masih mengantar dagangan ibu ke pasar dan sepulang sekolah aku tetap ke sawah atau ke kebun.


Kali ini aku kembali berkirim surat. Sebentar lagi kita akan menghadapi ujian akhir nasional tingkat SMA. Perasaanku campur aduk. Khawatir tidak lulus dan mengecewakan orang tua. Parahnya lagi, aku pasti tak akan bisa meraih cita-citaku karena akan berakhir menjadi petani menggantikan ayahku. Tuhan, bermurah hatilah padaku. jangan sampai itu terjadi padaku. Bagaimana persiapanmu menghadapi UN? Pasti kau sudah sangat mantap. Karena aku yakin orang tuamu tetap menyewa guru privat untuk membimbingmu belajar di rumah. Ya, yang penting kita yakin bahwa kita mampu manghadapi ujian ini. Semoga kita lulus dengan nilai yang memuaskan. Kau tahu, aku ingin sekali bertemu denganmu.


Entah mengapa suratku yang sepenting inipun tak kau balas. Apa kau marah? Kenapa? Sudahlah, aku ingin berkonsentrasi dulu untuk menghadapi ujian ini. Kurasa kau pun begitu. Aku merindukan tulisanmu yang rapi dan indah menuliskan keseharianmu dalam selembar kertas.


Standar nilai yang tinggi membuat semua siswa panik dan sangat khawatir pada hari kelulusan. Aku tak ubahnya seperti mereka. 5.50, itulah nilai minimal yang harus kami raih untuk bisa meninggalkan SMA. Dua bulan belakangan ini aku selalu bermimpi sedang menerbangkan pesawat dari Indonesia ke Jerman dan kau sobat, ada di dalamnya. Kau begitu bangga padaku. dengan setelan jasmu yang lux dan sejumlah pengawal yang setia. Benarkah kau tak bisa meraih cita-citamu? Dengan kekayaan yang begitu berlimpah kau tidak hanya bisa menagajar, tapi kau bisa mendirikan sekolah. Sekolah gratis untuk anak-anak yang bernasib sama denganku. Ah, kau tahu, itu ternyata memang cuma mimpi, tapi kini aku sudah bangun untuk meraihnya.


Kepala sekolah memasuki ruangan dan memberikan sambutan sebelum amplop ajaib berisi peruntungan kami dibagikan. Kepala sekolah berpesan bahwa hasil seperti apapun yang kami dapatkan, yakinlah bahwa itu adalah yang terbaik karena kami telah berusaha dengan seungguh-sungguh. Kata-kata laki-laki yang bijaksana itu bukannya mampu meredakan ketegangan yang melanda kami, tapi menjadi bom yang siap meledak sewaktu-waktu bila ternyata hasil yang kami dapatkan mengecewakan orang tua dan guru kami, tentunya akan menjadi pukulan berat bagi kami.


Aku membawa amplopku pulang dengan berlari. Aku ingin ibu dan ayahku lah yang pertama kali melihat tanda kelulusan itu. Tapi bagaimana kalau aku tidak lulus? Apakah harus orang tuaku yang pertama kali merasakan kekecewaan itu? Kenapa aku tak punya keberanian untuk membuka amplop itu?
Bukan, bukan begitu. Lantas apa? Aku ingin melihat senyum merekah di bibir pahlawanku itu. Aku ingin membayar jerih payah mereka selama belasan tahun tak pernah letih memberikan kasih sayang kepadaku. Aku berdiam diri di pojok rumah sambil mengumpulkan keberanian menghadapi Ayah dan Ibu. Aku mengambil napas dalam dan membuangnya dengan perlahan. Berusaha menahan perasaan khawatir yang tiba-tiba menyerangku.


Akhrinya aku melihat senyum itu,wajah yang sumringah dan tangis bahagia bercampur jadi satu. Aku terharu karena akhirnya aku mampu menghadirkan kebahagiaan dalam hidup mereka.


Pagi ini aku berada di Jakarta. Aku akan mengikuti seleksi untuk masuk sekolah penerbangan. Orang tuaku dengan bangga mengantarkan aku meraih cita-citaku. Di Jakarta kami menumpang di rumah saudara jauh. Aku baru kali ini bertemu dengan mereka. Wajar saja, mereka merantau sebelum aku terlahir dan tak pernah pulang setelah lebih dari puluhan tahun. Anak-anaknya cantik dan tampan. Di antaranya ada yang seumuran denganku dan telah mendaftar untuk melanjutkan studi di UI Jurusan Pendidikan Dokter. Yang lebih tua dariku sudah dalam tahap menyusun tugas akhir di ITB jurusan Tekhnik Geodesi.


Setelah mengikuti seleksi nanti aku akan mampir ke rumahmu. Tanteku mau mengantarkanku mencari alamatmu. Bagi orang Jakarta tentu tak akan sulit untuk mencari sebuah alamat perumahan yang mewah seperti rumahmu. Kau tahu, aku sangat gembira ketika akhirnya aku bisa menemuimu. Kita tak lagi sekedar teman korespondensi atau sahabat pena. Tapi akan berteman dalam dunia nyata. Doakan agar aku lulus dalam seleksi ini sehingga kita bisa bersama-sama meraih cita-cita.


Hmmm, kau pasti bertanya kenapa aku bisa masuk sekolah penerbangan padahal bayar SPP saja aku sering telat. Allah begitu menyayangiku, sehingga aku diantar untuk meraih cita-citaku, aku dapat beasiswa untuk melanjutkan kuliah dari PEMDA. Cita-citaku tinggal selangkah lagi, namun tetap saja butuh perjuangan yang berat


Aku sudah berada di depan pintu rumahmu. Aku mengetuk pintunya sementara itu tanteku memencet sebuah tombol yang ada di sana. Aku tidak tahu itu apa. Tapi yang jelas tak lama kemudian pintu rumahmu terbuka dan seorang perempuan berdiri di sana.
Aku bertanya dan menyebut namaku. Perempuan itu langsung histeris. Aku tidak mengerti, apa yang telah aku lakukan. Aku baru kali ini bertemu dengannya, tapi seakan-akan aku adalah penjahat yang selama ini mengintainya. Setelah cukup menguasai diri, dia mempersilahkan kami masuk. Aneh, sudah hampir setengah jam kami di sini tapi aku belum juga melihatmu. Apa aku salah alamat? Perhatianku teralihkan oleh sebuah benda di seberang ruangan tamu ini. Tepatnya di ruang keluarga. Bukankah kau bilang bahwa kau senang sekali bermain piano dan tak sedetik pun kau lewatkan di rumahmu tanpa memainkan alat musik yang cantik itu. Tapi, piano itu ditutup dengan sehelai kain dan kelihatannya sudah lama tak disentuh. Sepertinya aku benar-benar salah alamat, begitu pikirku.


Akhirnya kuberanikan diri untuk menanyakan keberadaanmu. Dan jawaban yang kudengar merontokkan persendianku. Simaklah kawan! Rani sering bercerita padanya bahwa dia memilki seorang teman jauh. Selama ini mereka berkomunikasi lewat surat. Nama temannya itu Mita. Kehadiran Mita dalam hidupnya membuat Rani mendapat pencerahan di tengah tuntutan orang tuanya yang memaksakan kehendaknya kepada Rani. Rani ingin sekali menjadi seorang guru dan berbakti pada negeri ini. Tapi orang tuanya menginginkan agar rani menjadi seorang pebisnis. Setiap hari Rani di cekoki dengan berbagai persoalan perusahaan yang sejatinya hanya mampu dipecahkan oleh mahasiswa. Padahal saat itu rani masih kelas 6 SD. Karena tidak mampu menyelesaikannya, orang tua Rani berpikiran bahwa pelajaran yang diterima Rani masih belum memadai. Sehingga mereka mencarikan beberapa orang guru privat untuknya.


Setelah kejadian itu hari-hari Rani dipenuhi dengan belajar dan belajar tanpa diberi kesempatan bermain seperti anak seusianya. Disela-sela waktunya Rani menghibur diri dengan bermain piano. Lantas dimana Rani sekarang?
Ketika bersahabat denganku Rani merasa bahwa penderitaan yang dia rasakan ternyata masih lebih ringan dari penderitaanku sehingga dia kembali memiliki semangat hidup. Dia mencoba menjalani hari-harinya dengan tabah dan mengikuti keinginan orang tuanya sementara dalam hatiya ia terus memendam cita-cita luhurnya. Rani berharap suatu saat nanti orang tuanya akan mengerti bahwa ia memiliki cita-cita sendiri.


Hingga pada suatu hari yang dinantikan, tanda-tanda bahwa orang tuanya akan memberi ruang bagi Rani untuk mengekspresikan diri tak kunjung nampak. Rani dengan segala kepolosan seorang anak SMP mencoba kabur dari rumah dan menumpang di rumah salah seorang temannya di luar kota.


Suatu hari ia kembali untuk menjemput boneka panda-nya. Boneka itu akan dikirimnya padaku karena ia tahu akupun sangat menyukai binatang dari negeri tirai bambu itu. Malangnya, ketika Rani pulang, orang tuanya ternyata sedang berada di rumah. Karena kalut, Rani berlari keluar rumah tanpa menoleh ke kanan dan ke kiri. Boneka panda ada di tangan kanannya.
Tanpa diduga dari arah kanan, sebuah sepeda motor melaju kencang dan tanpa bisa dicegah menabrak Rani dengan keras. Rani terpental jauh dan kepalanya membentur trotoar. Si pengemudi terlontar ke arah yang berlawanan.


Setelah mengalami koma selama 2 minggu akhirnya Rani pergi. Menuju surga yang mungkin lebih baik baginya. Pendarahan otak yang parah dan beberapa organ dalam tubuhnya rusak. Di kantong bajunya terdapat sebuah surat yang akan dikirimkan kepadaku. Surat itu berlumuran darah. Si pembantu ternyata masih terus menyimpan surat itu dan surat-suratku yang terus berdatangan sebulan sekali. Si pengemudi mengalami nasib yang sama.


Pagi itu, 6 tahun kemudian, aku berdiri di samping batu nisan Rani. Menangisi kepergian yang tak pernah ku sangka. Seorang sahabat yang hanya aku kenal lewat tulisan tapi terlalu dekat di hatiku.
Aku telah meraih cita-citaku menjadi pilot dan baru kemaren aku kembali dari daratan Eropa. Walaupun aku belum mendapatkan kesempatan untuk menerbangkan sendiri pesawat ke negeri para penakhluk itu.
Lalu, Rani? Ia telah membawa mimpinya bersamanya ke alam yang tenang dan damai. Seharusnya bumi pertiwi ini kehilangan seorang calon guru yang berdedikasi tinggi.

Ciputat, Oktober 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar