Senin, 14 Desember 2009

Pagi Bisu (Cerpen)

Oleh
: Maharani


Siapa yang pernah tahu apa yang kini kurasakan? Kehilangan yang begitu menyakitkan. Kepergiannya yang tiba-tiba membuatku tak mampu berpikir jernih. Bayangan saat-saat bersamanya kembali hadir memenuhi pikiranku. Aku tak sanggup menerima kehilangan yang begitu tiba-tiba.
Rasa sesak membuncah memenuhi dada. Aku tak sanggup bernapas. Kenapa ini bisa terjadi? Kenapa disaat-saat seperti ini? Ketika selangkah lagi kami mencapai kebahagiaan.
Ini tak adil untukku.
Tidak juga untuknya.
Aku ingin berteriak, mempertanyakan takdir. Apa dosaku sehingga pantas mendapat ujian yang begitu berat?
Aku terus terisak di tengah lautan manusia yang terus berdatangan dengan wajah duka. Mengguncang tubuhnya yang telah kaku.
“Kembali”, teriakkanku teredam.
Tangisku teredam dalam isakan.
Tapi tak ada yang peduli. Dia tidak mendengarku. Senyum yang menghiasai bibirnya mulai samar. Bibir merah itu kini berangsur pucat sebelum akhirnya akan kehilangan warna.
Di sudut lain tenda seorang wanita menangis dalam diam.


“Na, udah dengar kabar gempa di Padang?”
“Iya, ini lagi nonton TV”, Luna menjawab telepon sambil memelototi televisi yang menayangkan secara langsung efek gempa di Padang.
“Kita kumpul di kantor besok pagi untuk merembukkan langkah-langkah yang kan kita ambil untuk membantu korban. Jam 08.00, okay?”
“Oke, habis ini aku langsung kontak teman-teman. Tapi aku telat ya. Besok sebelum jam 9 gue udah harus nyerahin skripsi ke dosen pembimbing. Ga pa pa kan Dit?”
“Yupz.”
Pembicaraan telepon itu berhenti. Luna mengambil laptopnya dan mulai mengirim e-mail ke semua aktivis LSM Peduli Sesama. Sebuah LSM yang bergerak di bidang advokasi. LSM ini memperjuangkan nasib anak-anak jalanan yang terlantar di Jakarta. Peraturan yang tidak bisa dikesampingkan dalam LSM ini adalah, setiap hari semua anggota harus nge-cek e-mail. Karena semua agenda, undangan dan pemberitahuan dikirim lewat e-mail.


Ruangan seluas 5 x 4 m itu penuh sesak. Bukan karena banyaknya manusia. Dalam waktu sehari, ruang ‘tamu’ LSM Peduli Sesama disulap jadi gudang penampungan bantuan yang akan disalurkan pada korban gempa Sumatera Barat. Hari ini adalah hari kedua sejak gempa terjadi, tetapi bantuan yang disalurkan lewat LSM ini sudah menggunung. Di ruang sebelah dalam, ruang rapat, terdengar suara-suara yang sedang merembukkan strategi. Siapa yang akan turun ke lapangan atau jadi relawan di lokasi dan siapa saja yang akan tinggal untuk terus menggalang dana dan bantuan lainnya.
“Gue pikir, Raditya harus ikut ke Padang, selain dia ketua, dia juga orang asli Padang. Sekalian dia bisa melihat kondisi keluarganya di sana.” Danang mengusulkan. Dewi si sekretaris sibuk mengukir di whiteboard.
“Kita butuh sekitar 10 orang untuk terjun ke lapangan. Dan gue sangat berharap kalian benar-benar ikhlas untuk memberikan waktu kalian untuk menangani bencana ini. Saya tahu, saat ini kita semua di sibukkan oleh tugas akhir dan persiapan untuk ujian akhir semester.” Raditya mengatakan kalimat itu seakan-akan keluar dari hatinya yang sedang dirundung duka mendalam. Bagi anggota LSM Peduli Sesama, ini bukan lagi hal aneh. Raditya memang selalu memperlihatkan kepedulian yang besar terhadap masalah-masalah serupa. Apalagi kali ini bencana itu mengguncang tanah kelahirannya.
Satu persatu nama-nama relawan mengisi whiteboard. Lengkaplah 10 orang.
“Selanjutnya kita…” Kalimat Raditya menggantung disela oleh sebuah suara yang riang.
“Pagi semuanya.” Luna masuk dengan senyumnya yang khas. “Sorry banget nih, dosen pembimbing gue tiba-tiba merubah jadwal bimbingan, jadi…” Giliran Luna yang tidak menyelesaikan kalimatnya. Matanya tertumbuk ke papan tulis yang berisi nama relawan yang akan berangkat ke Padang dua hari dari sekarang. Dia menemukan nama Raditya, tapi tak ada namanya. Sejenak matanya beralih menatap Raditya yang sedang melihatnya dengan ekspresi minta maaf.
“Na, begini…” Raditya mengambil napas, berusaha mencari alasan yang tepat agar tidak menyakiti hati wanita yang dicintainya itu. “Kamu sedang dalam tahap penyelesaian skripsi dan harus selesai sebelum Januari akhir. Sedangkan penelitian kamu juga belum selesai. Keberangkatan ke Padang akan mengganggu proses itu, karena kita tak pernah tahu berapa lama kita akan berada di lokasi. Akhirnya kami memutuskan untuk tidak memasukkan namamu dalam daftar relawan yang akan berangkat ke lokasi.”
Luna duduk di kursi yang tersisa untuknya dan meletakkan tas di atas meja. Ekspresinya tak terbaca.


“Apa ini berarti kita akan menunda pernikahan sekali lagi Dit?”
“Sayangnya, ia.” Merasa bersalah, Raditya tak mampu menatap Luna.
Mereka berdua diam, larut dalam pikiran masing-masing. Luna merasa ruangan semakin sesak dan sempit. Kenyataan bahwa mereka akan berpisah tak membuatnya merasa nyaman. Sudah dua kali mereka mengulur-ulur waktu pernikahan. Dan penyebabnya lagi-lagi karena tugas sosial yang menuntut mereka untuk berperan di dalamnya. Dulu, hal itu tak terlalu bermasalah bagi Luna, karena ia selalu bersama-sama dengan Raditya berangkat ke lokasi atau sama-sama tinggal di Jakarta untuk menggalang dana. Tapi kali ini, Raditya akan berangkat sendiri sementara dirinya bergelut dengan skripsi yang harus selesai bulan Desember agar bisa ikut sidang awal Januari dan wisuda tanggal 20 Januari.
“Tak akan lama Na.” Raditya mencoba memecah kebekuan di antara mereka.
“Kau yang mangatakan bahwa waktunya tak dapat ditentukan. Jangan coba untuk membohongiku.”
“Tapi aku sudah menjelaskan alasannya Na, dan itu masuk akal. Bukankah kemarin kamu setuju?” Raditya menatap wajah Luna, mencoba mencari tanda.
Luna berdiri dan berjalan menuju jendela. Lama ia menatap kembang yang sedang mekar di halaman kantor LSM. Raditya mengikuti dengan matanya. Memprediksi jawaban apa yang akan Luna ucapkan.
Luna berbalik dan menarik napas. “Kita menikah seperti rencana semula atau aku ikut ke Padang.”
“Tapi”, Raditya mencoba mencari alasan, “itu nggak mungkin Na. Mustahil kita bisa mempersiapkan pernikahan dalam jangka waktu sebulan sementara aku harus berada di Padang.”
“Lalu, apa mustahil juga untuk mengajakku ikut serta?” Luna menjawab, ekspresinya mengeras.
“Bukan…” Kalimatnya terpotong
“Jangan membuatku merasa marah dengan alasan-alasanmu Dit. Skripsiku bisa menunggu. Kau punya dua pilihan, jangan berharap yang ketiga. Karena akan lebih sulit bagi kita.”
“Na, mengertilah. Aku tidak ingin melihat kau gagal wisuda Januari nanti. Aku akan merasa sangat bersalah…”
“Tentukan pilihanmu”, Luna menyela dan bersamaan dengan itu ia berjalan ke luar ruangan.
“Kau mempersulitku, Na.” Keluh Radit.


Bantuan akan dikirim lewat darat. Sepuluh mobil Fuso. Berisi makanan siap saji, pakaian dan obat-obatan. Semua anggota LSM berjejer di halaman melepas keberangkatan truk-truk pengangkut bantuan itu
“Kalau begitu sekarang giliran kita.” Alan beranjak dari tempatnya dan mulai menyalami anggota yang tinggal satu persatu. “Jangan biarkan burung besi raksasa itu menunggu kita terlalu lama kawan.”
“Tak akan, Lan.” Dewi Menyahuti kelakar Alan.
Setelah semua relawan bersalaman satu persatu mereka menaiki bus yang disewa untuk mengantar ke Bandara. Andre mendekati Raditya, “kau harus bersabar Dit. Jangan hadapi dia dengan emosi,” Andre bicara sambil melirik Luna yang sedang menaiki bus, “dia hanya sangat mencintaimu dan khawatir akan terjadi sesuatu padamu.”
“Aku bukan pergi untuk berperang An, aku hanya ingin dia lulus sesuai rencana. Tapi yah, tak ada yang mampu mencegahnya, bukan?” Raditya tersenyum getir dan memeluk sahabatnya sebelum beranjak ke bus.
Tak lama berselang, bus perlahan meninggalkan kantor LSM yang ada di Matraman itu. Semua penumpangnya terlihat antusias. Raditya mengambil posisi di sebelah Luna.


“Terlalu banyak yang harus kita kerjakan, sementara tenaga relawan tidak mencukupi.” Raditya membuka briefing. Hari itu genap seminggu mereka berada di Pariaman. Kemana mata memandang, yang telihat hanyalah puing-puing bangunan dan para korban gempa masih menangisi nasib mereka. Dibeberapa titik terlihat tenda-tenda darurat yang didirikan untuk menampung korban gempa. Seluruh anggota tim LSM ditempatkan di dua tenda, satu untuk laki-laki dan satu lagi untuk perempuan.
“Kita harus memberdayakan masyarakat untuk mengevakuasi korban yang tertimbun dalam reruntuhan bangunan itu.” Zaky mengusulkan. “Agar mereka tidak terlalu lama larut dalam kesedihan.”
“Tapi kita tak bisa memaksa mereka. Trauma yang dalam dan kehilangan keluarga serta harta benda cukup membuat mereka down. Kita boleh saja meminta mereka untuk membantu, namun dengan cara yang halus.” Luna menambahkan.
“Oke, besok kita akan buka pos untuk menjaring tenaga relawan. Dan berita untuk malam ini”, Radit berhenti mengambil napas, “besok pagi bantuan tahap 2 akan sampai di sini. Kepada yang bertugas mendistribusikan bantuan mohon bersiap.” Radit menutup pertemuan dengan mengucapkan selamat malam.


“Beristirahatlah yang cukup, Na.” Raditya menghampiri Luna yang masih duduk menyelesaikan data-data korban yang mereka temukan hari itu. “Jangan sampai kecapaian.”
“Nanggung Dit.” Luna menjawab sambil menoleh kepada Raditya yang sudah duduk di sebelahnya, tapi tangannya tetap menari di atas keyboard laptop.
“Jangan memaksakan diri, Na.”
“Dit?” Terdengar suara memanggil.
“Aku tinggal Na, jangan lupa tidur sebelum jam 10, oke?” Pesan Raditya sambil berdiri.
“Hmm.” Gumam Luna
Di luar tenda, Raditya menemukan Ade sedang berdiri memandang reruntuhan yang telah mereka gali siang tadi. Ade lah yang tadi memanggilnya.
“Kenapa De?” Radit menepuk bahu temannya.
“Lu ingat waktu kita membantu evakuasi korban dari gedung SMP 11 dua hari yang lalu?” Ade bertanya tapi matanya tak beralih dari objek pandangnya semula.
“Iya.” Radit menjangkau gelas berisi kopi di atas nampan di sebelahnya.
“Ada seorang gadis yang nanyain lu. Sepertinya dia juga korban gempa.” Ade ikutan mengambil kopi.
“Geu?” Radit menoleh, tangannya yang memegang gelas kopi berhenti di udara. “De, gue emang orang Sumatera Barat, tapi bukan berarti gue kenal orang se-Provinsi. Gue berasal dari Bukittinggi, jadi mustahil gue kenal orang Pariaman.”
Ade mengangkat bahu, ekpresinya menunjukkan ketidaktahuan. “Mungkin dia teman lu waktu sekolah dulu.” Tambah Ade.
Alis Raditya terangkat pertanda dia sedang berpikir. “Seingat gue”, Radit berusaha keras mengingat, gue nggak pernah punya teman seorang perempuan yang berasal dari Pariaman. Tapi kita lihat nanti, siapa tahu besok ketemu.”
“Luna belum tidur Dit?” Ade mengalihkan pembicaraan.
“Tak akan, sebelum pekerjaannya selesai”, Raditya terlihat menyesal, “gue khawatir dia jatuh sakit. Tapi keras kepalanya tak bisa hilang sejak dulu.”
“Ciri-ciri orang punya kemauan kuat dan ciri-ciri orang berhasil, eh?” Ade tertawa melihat ekspresi temannya yang berubah-ubah setiap kali topik pembicaraan berubah.


“Assalamu’alaikum.” Suara wanita itu tak asing.
“Wa’alaikum Salam.” Raditya mengangkat kepala dan menemukan seseorang dari masa lalunya berdiri di depannya.
“Apa kabar Kak?” Wanita itu tersenyum.
“Iya…eh, sehat Alhamdulillah.” Raditya berdiri dan meninggalkan pekerjaannya mengenali korban dibantu penduduk setempat.
Mereka berdua berjalan ke tempat yang lebih terbuka. Kemudian Raditya mengajaknya ke tenda relawan LSM.
“Bukannya kau sedang kuliah di IAIN?” Raditya mencoba mencairkan suasana. Bertemu dengan orang yang pernah dicintainya ketika SMA dulu di lokasi seperti ini tak pernah disangkanya. Raditya baru bisa melupakan Dina sejak ia bertemu Luna 2 tahun lalu. Ketika itu Raditya baru kembali dari Padang membawa kekecewaan karena Dina mencintai laki-laki lain.
“Ia kak. Tapi sejak seminggu lalu, aku ikut bantu-bantu di sini. Bergabung dengan regu pecinta alam kampus.” Dina mencoba menghilangkan bayangan masa lalu yang membuatnya terus merasa bersalah.
Tidak lama, muncul Luna membawa berkas-berkas laporan yang baru saja selesai dikerjakan. Langkahnya terhenti ketika melihat ada tamu bersama Raditya.
Raditya menoleh, “Na, sini.” Raditya melambaikan tangan pada Luna. “Kenalkan adik kelasku waktu di SMA dulu.”
Luna mendekat dan mengulurkan tangannya sambil berkata, “Luna.”
“Dina.” Si tamu menyahut.
“Dina ini juga ikutan jadi relawan dari IAIN, Na. Ternyata mereka juga sudah seminggu ada di sini. Kalau mau nanti kita bisa bekerja sama sehingga tugas-tugas kita di sini jadi lebih ringan.” Raditya terlihat antusias.
“Boleh.” Sahut Luna pendek, tapi Luna melihat sesuatu yang lain dalam senyum tamu itu. Entah apa itu.


Berdasarkan rencana yang disusun oleh tim relawan LSM, waktu buat mereka tinggal di lokasi cuma 3 hari lagi. Mereka telah berada di lokasi selama satu setengah bulan. Telah banyak pekerjaan yang mereka selesaikan dan semua bantuan telah disalurkan. Waktu tuga hari adalah untuk menyelesaikan pekerjaan yang masih tersisa.
Kerjasama dengan tim mapala IAIN membuat tugas masing-masing menjadi lebih gampang dan hasil yang diperoleh cukup maksimal. Tapi satu hal yang mengganggu Luna sejak kerjasama mereka disepakati, keberadaan Dina. Dari hari kehari Luna memperhatikan sikap Dina terhadap Raditya bukan sekedar teman lama. Akhirnya ia menyimpulkan bahwa ada sesuatu di balik semua. Da itu meresahkannya.
Luna telah mengenal semua anggota tim mapala IAIN sehingga ia cukup tahu teman-teman terdekat Dina. Bahkan ia mengenal salah satu dari mereka adalah teman Dina semasa SMA dulu.
Suatu sore, Luna duduk di depan tenda bersama beberapa relawan lainnya, baik dari tim LSM ataupun dari mapala IAIN. Ia duduk bersisian dengan Santi, teman Dina ketika SMA dulu. Dengan tidak ketara ia mencoba menggali informasi tentang masa lalu Dina. Informasi yang diperolehnya tak membuatnya tenang.
Selang beberapa jam, Raditya muncul bersama Dina. Mereka kelihatannya baru kembali dari tenda pengungsi. Wajah Luna memerah, amarahnya mendidih. Tak pernah sekesal itu ia melihat Dina dan Raditya berdua. Tanpa menoleh, Luna masuk ke dalam tenda tepat ketika Raditya dan Dina sampai di depan tenda dan bergabung dengan mereka. Menyadari keanehan Luna, Raditya langsung menyusul ke dalam tenda. Giliran Dina yang berdiri mematung menyaksikan Raditya begitu peduli pada Luna.
Dina sudah tahu sejak hari kedua mereka bekerjasama bahwa Luna adalah calon istri Raditya dan mereka akan menikah segera setelah kembali ke Jakarta. Entah kenapa sebagian dari dirinya memberontak ketika mendengar berita itu. Apa mungkin ia masih mencintai Raditya? Laki-laki yang pernah disakitinya. Hingga hari ini, tak terlihat kalau Raditya membencinya. Tapi itu bukan berarti Raditya masih mencintaimu, pikirnya.
“Na, ada yang terjadi?” Raditya bertanya. Suaranya menggambarkan kekhawatiran.
“Tak ada yang istimewa.” Luna berkonsentrasi pada laporan terakhirnya. Laporan ini akan diserahkan kepada para donator begitu sampai di Jakarta.
“Tak biasanya kau menyembunyikan masalah Na.” Raditya mencoba memancing.
“Lapopran ini membuatku pusing.” Luna berkata tanpa ekspresi.
“Jangan mengalihkan pembicaraan Na.” Raditya meraih bahu Luna dan membalikkan tubuhnya sehingga ia bisa menatap ke dalam mata wanita yang telah mengisi hari-harinya selama dua tahun belakangan.
Luna menatap laki-laki di depannya, tapi ia seolah menemukan orang lain yang berdiri di situ, bukan Raditya. “Apa begitu sulit?” Luna menundukkan kepalanya menahan airmata agar tak mengalahkan pertahanannya.
“Ya.”
“Dia…maksudku…”
Raditya menunggu.
“Dina…” Kali ini Luna tak mampu bertahan.
“Kenapa?” Ada apa dengan Dina?”
“Apa begitu sulit melupakannya?” Luna duduk memeluk lututnya. Terlihat jelas ia sedang berjuang melawan perasaannya yang berkecamuk.
Raditya duduk di depannya. “Dina adalah masa lalu Na. Kamulah yang ada dihatiku sekarang. Dan kamulah masa depanku. Perasaanku untuknya sudah ku kubur seiring perjalananku meninggalkan Padang 4 tahun lalu. Jangan biarkan kehadirannya yang sesaat merusak masa depan kita Na. Tahun depan kita akan menikah dan semuanya akan jelas, bukan. Aku tak akan senang bila istriku meragukan kesetiaan dan cinta yang ku bangun.”
Luna mengangkat wajahnya dan menatap mata Raditya, mencoba mencari kebohongan di sana. Tapi yang ia temukan hanyalah kejujuran dan ungkapan kasih yang dalam. Ia merasakan dirinya mulai tenang.


“Bisa bicara sebentar Din?” Luna bertanya dengan hati-hati. Malam itu mereka sedang menggelar ritual perpisahan sederhana. Berhubung 2 hari lagi tim relawan LSM akan kembali ke Jakarta.
“Boleh.” Dina terlihat enggan. Sejak mengetahui fakta bahwa Luna adalah calon istri Raditya, Dina terkesan menjaga jarak. Walaupun ia tak punya alasan untuk itu.
“Dua hari lagi kami akan pulang ke Jakarta. Semuanya akan kembali seperti semula, sebelum kita datang ke sini. Kau pun tentunya akan kembali kuliah bukan?” Luna membuka pembicaraan.
Dina merasa Luna tak akan berbasa-basi membahas kebersamaan mereka di sini dan rencana apa yang akan mereka jalankan setelah kembali ke kediaman masing-masing.
“Ya.” Sahut Dina pendek. Dia merasa tidak nyaman berada di samping Luna. Hatinya masih tidak rela menerima kenyataan bahwa Raditya akan menikahi wanita yang kini duduk di sebelahnya. Dulu, 4 tahun yang lalu, mimpi itu adalah miliknya. Rasa cemburunya makin jadi ketika menyadari bahwa Luna tidsak hanya cantik, tetapi selalu bisa menghidupkan suasana dimana pun ia berada. Tak peduli apakah mereka baru saja bertemu. Luna orang yang mudah bergaul dan semua orang menyukainya. Dina merasa dadanya kian sesak.
“Bagaimana kuliahmu? Aku dengar kau sedang mengerjakan tugas akhir. Permasalahan apa yang kau angkat?” Luna mencoba menetralisir suasana.
“Aku membahas tentang kebiasaan sekelompok masyarakat yang terbiasa nongkrong di warung. Mereka mengatakan bahwa di sana juga ada pendidikan. Hingga saat ini aku belum menemukan pelajaran apa yang akan kita dapatkan dengan duduk menghabiskan waktu di warung-warung itu.” Dina berjengit, dia tak menyangka akan bicara panjang lebar seperti itu di hadapan Luna.
“Di sana mereka mengkritisi politikus dan pemimpin negeri ini yang tidak bisa menyelesaikan kusut negara kita.” Luna mencoba berpendapat. Ia menoleh dan melihat Dina mencoba mencerna kata-katanya. “Mereka”, Luna melanjutkan ketika ia melihat Dina menuggu kata berikutnya, “mendiskusikan hasil panen yang menurun drastis dan mencoba mencari solusi. Terkadang mereka juga saling berbagi tentang kemelut yang dialami dalam hidup masing-masing, setidaknya itu mengurangi beban. Dan kalau bisa, satu sama lain akan saling men-suport.”
Setelah merasa bahwa kebekuan di antara mereka mencair, Luna memutuskan inilah saat yang tepat untuk membicarakan masalah mereka berdua –bukan, bertiga. “Hmm”, Luna mencoba mencari kekuatan, “sudah berapa lama kau mengenal Raditya?”
Dug, Dina keget dan menatap Luna tanpa bisa mencegah dirinya. Ini dia, batin Luna. Apalagi yang akan dia bicarakan padaku kalau bukan berkaitan dengan Raditya.
“Sejak kami bersekolah di SMA 1 Bukittinggi, 7 tahun yang lalu. Dia kakak kelasku.” Dina kembali menunduk. Ia melihat Luna dengan sudut matanya.
“Oh, tentunya kalian sangat dekat.” Luna mencoba memancing.
“Hmm.”
“Apa kau masih mencintainya?” Dari suaranya jelas sekali Luna sedang menahan gejolak cemburu yang satu bulan terakhir menguasainya.
“K-kenapa kau bertanya begitu?” Dina mencoba menyembunyikan perasaannya. Berusaha agar tak terbaca dari sikapnya.
“Jauhi dia.”
“Maksud...mu?”
“Kita sama-sama gadis Minang, Din. Dan aku juga dibesarkan di ranah ini. Baru 6 tahun aku tinggal di Jakarta. Jadi feeling-ku sebagai wanita Minang belum dan tak akan pernah hilang.” Luna berhenti agar efek dari kata-katanya bisa diterima Dina dengan baik.
Dina terperanjat.
“Oh...” Dina mencoba mencari kata-kata. Selama ini dia berpikir bahwa gadis yang sesempurna Luna adalah gadis metropolitan. Tak terlihat gurat wajah Minang di wajahnya, pikir Dina. Logatnya Padang-nya pun sudah tidak terdengar.
“Aku tahu, bahwa posisi kita saat ini merupakan sebuah dilema. Tapi aku mohon, Din, jauhi Raditya. Kita sama-sama mencintai Raditya, tapi kita berbeda. Kau adalah masa lalu Radit, sedangkan aku adalah masa depannya.” Luna merasa sangat kejam karena harus berkata seperti itu kepada mantan pacar Raditya. Tapi dia harus menegaskan ini. “Tahun depan kami akan menikah. Bukankah dulu kau yang menyakitinya?”
Dina tak mampu berkata. Apa hak-nya menyuruhku melupakan Raditya? Batinnya berontak. Tentu saja dia punya, kata sesuatu yang lain di sudut pikirannya, dia adalah pacarnya dan calon istrinya. Menyadari kebenaran yang begitu menyesakkan, Dina kian tertunduk.
“Aku tahu ini akan sulit Din, tapi berusahalah. Lusa kami akan berangkat dan kau akan kembali melupakannya. Jangan membuat kita saling menyakiti, karena aku tak menginginkannya.”
Apa yang dia tahu tentang perasaanku terhadap Raditya? Dina membatin. Aku mengingat Raditya setiap hari selama 7 tahun perpisahan kami. Walaupun akulah penyebab perpisahan itu. Tadinya aku berharap ada kesempatan kedua. Ternyata Raditya tak mencintaiku sedalam itu. Matanya menganak sungai. Dina bersyukur mereka ada di tempat yang terlindung dari cahaya lampu sehingga Luna tak bisa melihatnya menangis.
“Luna...” Raditya memanggil dari kejauhan. Kemungkinan dia tidak melihat Luna bersama Dina.
Dina merasakan ada nada kekhawatiran dalam suara Raditya. Apa dia memang begitu mencintai Luna? Sehingga ketiadaan Luna di sisinya, walau sebentar saja, membuatnya resah. Hatinya kian tersayat. Tak seharusnya begini, pikirnya. Raditya tak pernah sepeduli itu padanya.
“Maaf, Din, aku harus kembali ke tenda. Mohon kau mau bekerjasama.” Luna bangkit dan berjalan menuju tenda. Ia tak menoleh lagi. Hatinya sudah lega karena beban yang selama ini menghimpitnya sudah terangkat.


“Na?” Ada nada panik dalam suara Alan.
Luna segera muncul di pintu tenda. Ini masih pagi sangat pagi. “Ada apa, Lan?” Luna mencoba menangkap kesan dibalik sikap Alan yang tidak biasa.
“Ikut aku, sekarang.” Perintahnya.
Luna segera berjalan di belakang Alan, ada apa, kenapa, mau kemana...berbagai pertanyaan memenuhi otaknya. Tapi tak satupun yang tersampaikan karena ia tahu Alan tak akan menjawab dan pertanyaannya akan hilang begitu saja terbawa angin.
Luna semakin bingung, Alan membawanya ke reruntuhan bangunan yang beberapa hari yang lalu mereka datangi. Tapi Luna melihat ada yang lain di sana. Bangunan yang kemaren berdiri dengan posisi condong sekarang telah roboh tak menyisakan ruang sedikitpun. Beberapa relawan terlihat sibuk membongkar puing-puing bangunan dan sebagian yang lain hilir mudik membawa..., “Oh”, kata Luna. Pasti ada korban lagi, pikirnya.
“Telat.” Alan berkata, lebih kepada dirinya sendiri. “Ayo Na, kembali ke tenda.”
Belum terjawab maksud Alan membawanya ke lokasi reruntuhan, sekarang ia kembali dibingungkan dengan sikap Alan yang semakin misterius.
Dari jauh Luna melihat tenda mereka penuh sesak. Sungguh berbeda dari 10 menit yang lalu ketika ia meninggalkan tenda untuk mengikuti Alan. Ia melirik Alan dan mendapatkan Alan jadi pucat.
“Ayo.” Alan mendahului berjalan ke tenda.
Di dalam tenda beberapa anggota tim tampak terpukul. Mereka mengelilingi sesosok tunuh yang terbujur tak bernyawa di tengah tenda. Jantung Luna langsung berpacu mengenali sosok yang ia cintai tergeletak di sana. Pandangannya kabur, lututnya goyah tapi ia menguatkan diri dan menghambur ke tubuh Raditya yang telah membeku. Ia mulai mengangis. Di belakangnya terdengar suara-suara mencoba menenangkannya.


Ciputat, 15 November 2009