Selasa, 27 Juli 2010

Spesial Puisi Karya : Adi Ferdiansyah

Mimpi Pengamen Kecil


Di pagi yang pagi

Diantara dedaunan yang basah berembun

Sedangkan mereka mengayuh sepeda ke pasar-pasar

Sedangkan mereka berseragam dengan riang

Sedangkan mereka bergegas ke kantor dengan mewahnya

Tengoklah sejenak nuranimu

Siapa sudi memandang?

Anak bertubuh kurus kering

Berkulit hitam legam

Berbaju kusuh lusuh

Bernyanyi lagu harapan

Ditengah binar-binar pagi yang belum mekar

Tengoklah sejenak nuranimu

Siapa sudi bertanya?

Harapan dari setiap wajah sinis memandang

Kecuali, sekedar sebungkus nasi kucing untuk hari ini

Tak banyak menggantungkan mimpi dilangit

Kecuali, sekedar sebungkus nasi kucing untuk hari esok.

Tengoklah sejenak nuranimu

Siapa sudi peduli?

Raut wajah lelah digaris dahi

Debu tebal menggumpal di betis kecil

Kulit hitam legam terbakar

Perjuangan untuk sebungkus nasi kucing

Tengoklah sejenak nuranimu

Siapa sudi mengira?

Syair lagu dan suara khas yang parau,

Petikan gitar dan jemari yang mungil

Isyarat seribu impian menggunung di langit raya

Menyentuh kaki bintang

Menggemparkan wajah-wajah sinis

Melempar jauh beban di pundak mudanya

Meski tak seindah mimpi anak-anak berseragam lucu

Namun tetap tersenyum memandang takdir

Sesekali sayup-sayup matanya

Hendak mengabarkan pesan

Yang telah lama tenggelam dalam

Tertutup oleh malu

Di bibirnya yang kering mencoba mengabarkan.

Tengoklah sejenak nuranimu

Siapa yang sudi membaca?

Senin, 26 Juli 2010

Profil Adi Ferdiansyah

Nama : Adi Ferdiansyah

Fakultas : Ushuludin

Jurusan : Tafsir Hadits

Semester : Lima

Kamis, 08 Juli 2010

Spesial Puisi Karya Putri Negoro

Mata Kehidupan

Jalan ini suram tak berarah

Ada kegelapan dan keraguan yang menimpa hidup ini

Sampai tak ada lubang pintu untuk bisa ke luar dari semua masalah

Ini sunyi dan sepi. . .

Jalan ini berliku

Hingga membawa masalah untuk menatap dalam laut yang lepas

Takkan hancur karang dihempas ombak

Karena-NYA. . .

Ia terangi kehidupan ini yang gelap karena dengki

Ia beri kepastian dari setiap ketidaktahuan

Karena-NYA. . .

Ia rapuhkan batu karang yang terus diterjang ombak

Ia ibaratkan laut lepas sebagai mata hidupnya

Tenang namun bisa menghanyutkan

Aku berjalan sambil menatap laut lepas

Sebagai mata kehidupanku

Rabu, 07 Juli 2010

Spesial Puisi Karya Putri Negoro

Nyanyian Merdu Pinggir Jalan


Fajar habis dan membangunkannya dari lelap
Matahari semakin tinggi di atas langit
Bersenandung dalam perut yang masih kosong
Teriknya matahari mulai menciptakan bau khas pada mereka

Lirik sederhana tercipta dalam alunan syair yang syahdu
Begitu merdu saat petikan gitar mini ikut bersuara
Raut wajah bercerita tentang lagu mereka
Bibir pucat pun ikut mewarnai kehidupan mereka saat itu

Pinggiran jalan yang bernyanyi dengan riang
Sekumpulan bocah berdendang sambil memainkan musiknya
Bersahut-sahutan dan bertepuk tangan

Pinggiran jalan yang bernyanyi dengan merdu
Sekumpulan uang logam jatuh ke dalam kantong saku mereka
Tersenyum dan menganggukan kepala
“Terima Kasih”

Selasa, 06 Juli 2010

Spesial Puisi Karya Putri Negoro

Sang Kupu – Kupu


Hidup adalah tujuannya

Menyambung hidup adalah perjalanannya

Tak ada cita – cita untuk hal itu

Terbang bebas dalam kehidupan sang kupu – kupu

Tersenyum adalah kekuatannya

Tersembunyi dalam air mata yang berlimpah dengan pilu

Tak ada keinginan untuk hal itu

Membuat mereka tertawa sedang ia terluka

Bernyanyi dalam lirik yang sendu

Menari dalam gerakan anggun yang bukan dirinya

Ia malu . . .

Tapi mereka bahagia

Gemericik air mata kian membasuh wajahnya

Kini raga yang tak lagi suci karena dosa

Jiwa pun tak semurni mutiara

Inikah salahnya

Senin, 05 Juli 2010

Spesial Puisi Karya Putri Negoro

Separuh Usia


Bintang…
Dalam malam yang sepi penuh keharuan
Penuh harap dan doa untuk kekuatan cinta yang pernah ada
Dari dulu hingga detik ini…
Jejak hidup yang beragam telah dirasakannya
Ketika duka melanda candanya
Ketika air mata menyelimuti tawanya
Takkan berhenti kasih sayang walau raga telah rapuh
Separuh usianya adalah aku
Aku mungkin permata hatinya…
Tapi aku belum bersinar seperti sinarnya yang mengkelipkan dunia
Separuh usianya adalah aku
Aku yang berdiri seorang diri dengan dua kaki
Aku yang ingin tak letih seperti kupu-kupu yang kian indah terbang
Berusaha kuat untuk berlari mengejar mimpinya
Bintang…

Minggu, 04 Juli 2010

Spesial Puisi Karya Putri Negoro

Sandiwara

Aku berkaca dalam dunia yang semu
Terbayang olehku bahwa,
Dunia ini palsu penuh kebohongan
Dunia ini malu penuh penyesalan . . .
Aku menggoyangkan kepala ketika penyair bercerita tentang,
Seseorang hidup dengan prinsip kejujuran
Namun ia menyelam dalam kehidupan yang tak sesuai
Aku tertawa tapi hati merasa iba
Sedetik, ku simpan raut wajah yang muram karenanya
Aku malu . . .
Saat tubuh kecil nan lusuh bernyanyi tentang,
Perjalanan hidup seseorang yang bernama harga diri
Mencoba mengeringkan luka yang basah karena dusta . . .
Hey…
Kau jadikan hidup ini sebagai bentuk permainan
Kau jalani cerita ini dengan sandiwara
Tak berhati . . . Tak berjiwa . . .
Kau menyesal ? ?

Sabtu, 03 Juli 2010

Profil Retno Kuntari Putri Negoro

Nama : Retno Kuntari Putri Negoro

Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 6 Agustus 1989

Fakultas /Jurusan : FITK/ Pendidikan Matematika

Semester : 5

Alamat : Jl. Taman Kota kp. Salo Rt 003 Rw 04 No. 27
Jakarta Barat 11610


No Telepon/Hp : (021) 93367617 / 083894694656

Jumat, 02 Juli 2010

Malaikat Jiwa (Puisi)

Tak lagi kudengar bisik gerimis

Memercik hujan rintik berbaris
Tak lagi kudapat angin mendesau
Meniup hangat menikam galau

Saat kuharap hadirmu cinta
Menepis rindu jelaga hampa
Adakah putih bernilai suci
Seperti surga-Nya terjaga abadi

Sudilah engkau menjadi malaikat jiwaku
Hingga saat malamku terjaga
Di atas langit anggun bercahaya


Oleh : Penyair Cinta

Kamis, 01 Juli 2010

Biografi Tokoh Sastra (Asrul Sani)

Seniman Pelopor Angkatan '45

Asrul Sani seniman kawakan yang antara lain dikenal lewat Sajak Tiga Menguak Takdir bersama Chairil Anwar dan Rivai Apin meninggal dunia hari Minggu 11 Januari 2004 malam sekitar pukul 22.15 di kediamannya di Jln. Attahiriah, Kompleks Warga Indah No. 4E, Pejaten Jakarta. Seniman kelahiran Rao, Sumbar, 10 Juni 1927 ini wafat setelah kesehatannya terus menurun sejak menjalani operasi tulang pinggul sekitar satu setengah tahun sebelumnya.

Dia adalah pelaku terpenting sejarah kebudayaan modern Indonesia. Jika Indonesia lebih mengenal Chairil Anwar sebagai penyair paling legendaris milik bangsa, maka adalah Asrul Sani, Chairil Anwar, dan Rivai Apin yang mengumpulkan karya puisi bersama-sama berjudul “Tiga Menguak Takdir” yang kemudian diterbitkan dalam bentuk buku di tahun 1950. Mereka bertiga bukan hanya menjadi pendiri “Gelanggang Seniman Merdeka”, malahan didaulat menjadi tokoh pelopor sastrawan Angkatan 45.

Dalam antologi “Tiga Menguak Takdir” Asrul Sani tak kurang menyumbangkan delapan puisi, kecuali puisi berjudul “Surat dari Ibu”. Sejak puisi “Anak Laut” yang dimuat di Majalah “Siasat” No. 54, II, 1948 hingga terbitnya antologi “Tiga Menguak Takdir” tadi, Asrul Sani tak kurang menghasilkan 19 puisi dan lima buah cerpen. Kemudian, semenjak antologi terbit hingga ke tahun 1959 ia antara lain kembali menghasilkan tujuh buah karya puisi, dua diantaranya dimuat dalam “Tiga Menguak Takdir”, lalu enam buah cerpen, enam terjemahan puisi, dan tiga terjemahan drama. Puisi-puisi karya Asrul Sani antara lain dimuat di majalah “Siasat”, “Mimbar Indonesia”, dan “Zenith”.

Sastrawan Angkatan 45 bukan hanya dituntut bertanggungjawab untuk menghasilkan karya-karya sastra pada zamannya, namun lebih dari itu, mereka adalah juga nurani bangsa yang menggelorakan semangat kemerdekaan. Adalah tidak realistis sebuah bangsa bisa merdeka hanya bermodalkan bambu runcing. Namun ketika para “nurani bangsa” itu mensintesakan keinginan kuat bebas merdeka menjadi jargon-jargon “merdeka atau mati” dan semacamnya, maka, siapapun pasti akan tunduk kepada suara nurani.

Sesungguhnya bukan hanya bersastra, pada tahun 1945-an itu Asrul Sani yang pernah duduk sebangku dengan sastrawan Pramoedya Ananta Toer sewaktu sekolah di SLTP Taman Siswa Jakarta, bersama kawan-kawan telah menyatukan visi perjuangan revolusi kemerdekaan ke dalam bentuk Lasjkar Rakjat Djakarta. Masih di masa revolusi itu, di Bogor dia memimpin Tentara Pelajar, menerbitkan suratkabar “Suara Bogor”, redaktur majalah kebudayaan “Gema Suasana”, anggota redaksi “Gelanggang”, ruang kebudayaan majalah “Siasat”, dan menjadi wartawan pada majalah “Zenith”.

Hingga tiba pada bulan Oktober 1950 saat usianya masih 23 tahun, Asrul Sani sudah mengkonsep sekaligus mengumumkan pemikiran kebudayaannya yang sangat monumental berupa “Surat Kepercayaan Gelanggang”, yang isinya adalah sebentuk sikap kritisnya terhadap kebudayaan Indonesia. Isinya, antara lain berbunyi, ‘kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri. Kami lahir dari kalangan orang banyak dan pengertian rakyat kecil bagi kami adalah kumpulan campur baur dari mana-mana dunia-dunia baru yang sehat dan dapat dilahirkan’.

Asrul Sani yang kelahiran Rao, Pasaman, Sumatera Barat 10 Juni 1927 sebagai anak bungsu dari tiga bersaudara, selain penyair adalah juga penulis cerita pendek, esei, penterjemah berbagai naskah drama kenamaan dunia, penulis skenario drama dan film, serta sekaligus sutradara panggung dan film. Bahkan, sebagai politisi ia juga pernah lama mengecap aroma kursi parlemen sejak tahun 1966 hingga 1971 mewakili Partai Nahdhatul Ulama, dan berlanjut hingga tahun 1982 mewakili Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Hal itu semua terjadi, terutama aktivitas keseniannya, adalah karena keterpanggilan jiwa sebab meski telah menamatkan pendidikan sarjana kedokteran hewan pada Fakultas Kehewanan IPB Bogor (ketika itu masih fakultas bagian dari Universitas Indonesia) dan menjadi dokter hewan, pada sekitar tahun 1955 hingga 1957 Asrul Sani pergi ke Amerika Serikat justru untuk menempuh pendidikan dramaturgi dan sinematografi di University of Southern California.

Seni dan keteknikan adalah dua dunia yang berbenturan dalam diri Asrul. Setamat Sekolah Rakyat di Rao, Asrul Sani menuju Jakarta belajar di Sekolah Teknik, lalu masuk ke Fakultas Kehewanan Universitas Indonesia (di kemudian hari dikenal sebagai Institut Pertanian Bogor). Sempat pindah ke Fakultas Sastra UI namun kemudian balik lagi hingga tamat memperoleh titel dokter hewan. Agaknya kekuatan jiwa seni telah memenangkan pertaruhan isi batin Asrul Sani. Maklum, bukan hanya karena pengalaman masa kecil di desa kelahiran yang sangat membekas dalam sanubarinya, sebelum ke Negeri Paman Sam Amerika Serikat pun pada tahun 1951-1952 ia sudah terlebih dahulu ke Negeri Kincir Angin Belanda dan belajar di Sekolah Seni Drama.

Selain karena pendekatan akademis dan romatisme kehidupan pertanian di desa, totalitas jiwa berkesenian terutama film makin menguat pada dirinya setelah Asrul Sani bertemu Usmar Ismail, tokoh lain perfilman. Bahkan, keduanya sepakat mendirikan Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) yang melahirkan banyak sineas maupun seniman teater kesohor, seperti Teguh Karya, Wahyu Sihombing, Tatiek W. Maliyati, Ismed M Noor, Slamet Rahardjo Djarot, Nano dan Ratna Riantiarno, Deddy Mizwar, dan lain-lain.

Film pertama yang disutradarai Asrul Sani adalah “Titian Serambut Dibelah Tudjuh” pada tahun 1959. Dan, ia mulai mencapai kematangan ketika sebuah film karyanya “Apa yang Kau Cari Palupi” terpilih sebagai film terbaik pada Festival Film Asia pada tahun 1970. Karya besar film lainnya adalah “Monumen”, “Kejarlah Daku Kau Kutangkap”, “Naga Bonar”,. “Pagar Kawat Berduri”, “Salah Asuhan”, “Para Perintis Kemerdekaan”, “Kemelut Hidup”, dan lain-lain. Tak kurang enam piala citra berhasil dia sabet, disamping beberapa kali masuk nomibasasi. Alam pikir yang ada adalah, sebuah film jika dinominasikan saja sudah pertanda baik maka apabila hingga enam kali memenangkan piala citra maka sineasnya bukan lagi sebatas baik melainkan dia pantas dinobatkan sebagai tokoh perfilman.

Itulah Asrul Sani, yang pada hari Minggu, 11 Januari 2004 tepat pukul 22.15 WIB dengan tenang tepat di pelukan Mutiara Sani (56 tahun) istrinya meninggal dunia pada usia 76 tahun karena usia tua. Dia meninggal setelah digantikan popoknya oleh Mutiara, diberikan obat, dan dibaringkan. Sebagaimana kematian orang percaya, Asrul Sani menjelang menit dan detik kematiannya, usai dibaringkan tiba-tiba dia seperti cegukan, lalu kepalanya terangkat, dan sebelum mengkatupkan mata untuk selamanya terpejam dia masih sempat mencium pipi Mutiara Sani, yang juga aktris film layar lebar dan sinetron.

Asrul Sani meninggalkan tiga putra dan tiga putri serta enam cucu, serta istri pertama Siti Nuraini yang diceraikannya dan istri kedua Mutiara Sani Sarumpaet. Semenjak menjalani operasi tulang pinggul enam bulan lalu, hingga pernah dirawat di RS Tebet, Jakarta Selatan, kesehatan Asrul Sani mulai menurun. Dia adalah putra bungsu dari tiga bersaudara. Ayahnya, Sultan Marah Sani Syair Alamsyah, Yang Dipertuan Rao Mapattunggal Mapatcancang adalah raja adat di daerahnya.

Selama hidupnya Asrul Sani hanya mendedikasikan dirinya pada seni dan sastra. Sebagai penerima penghargaan Bintang Mahaputra Utama dari Pemerintah RI pada tahun 2000 lalu, dia berhak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Namun dia berpesan ke istrinya untuk hanya dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum Menteng Pulo, Jakarta Selatan dengan alasan, sambil bercanda tentunya ke Mutiara Sani setahun sebelumnya, ‘masak sampai detik terakhir, kita masih mau diatur negara’.

Meski sudah mulai mengalami kemunduran kesehatan dalam jangka waktu lama, Asrul Sani masih saja menyempatkan menulis sebuah pidato kebudayaan, yang, konon akan dia sampaikan saat menerima gelar doktor kehormatan honoris causa dari Universitas Indonesia, Jakarta. Nurani bangsa itu telah pergi. Tapi biarlah nurani-nurani aru lain mekar tumbuh berkembang seturut zamannya.