Senin, 07 Desember 2009

Hati yang Lain (Cerpen)

Oleh : Maharani

Suara riuh rendah para pendukung masing-masing kandidat ketua umum pusat organisasi Pemuda Indonesia terdengar memenuhi aula. Persaingan yang ketat membuat suasana semakin panas. Masing-masing kandidat merasa mereka yang pantas untuk menjalankan roda organisasi dua tahun ke depan.


Saat ini adalah tahapan pemaparan visi dan misi yang mereka usung untuk memenangkan jabatan yang bergengsi itu. Di sini, kebijakan para kandidat akan dipertanyakan. Dari jawaban-jawaban yang mereka berikan, dapat dilihat siapa calon pemimpin yang berkarakter, ambisius atau pemimpin yang berkepala dingin. Apapun nantinya yang dikedepankan oleh masing-masing kandidat tentu tidak akan mempengaruhi keputusan para pendukung. Tujuan utama mereka datang adalah untuk mendapatkan jabatan dan berbakti kepada ikatan selama dua tahun.


Tak lama setelah ini, bahkan mungkin sudah sedari awal, akan terlihat lobi-lobi politik yang cantik. Take and Give. Itu satu prinsip yang abadi dalam dunia politik. apa yang bisa kau berikan jika saya memberikan ini? Hal yang lumrah bukan? Maka yang menang nantinya adalah mereka yang mampu memainkan seni politiknya dengan cantik. Karena berskala nasional, maka konflik atau sentimen antar daerah pun cukup berpengaruh dalam menjaring suara.
“Bukan, yang itu lho”, Rina menunjuk seorang kandidat, “yang pake baju putih kotak-kotak.”
“Bukannya itu calon yang diusung DPD Jawa Timur? Ya, Jawa Timur.” Keyla meyakinkan diri sendiri.
“Ya.” Rina kembali focus ke depan. Ia memperhatikan dengan serius ketika si baju kotak-kotak menjawab pertanyaan peserta sidang dengan argument yang meyakinkan. Mengagumkan.
“Amazing.” Bisik Rina lebih pada dirinya sendiri.
“Hmm?” Keyla bertanya tanpa menoleh.
“Ng…nggak. Key, menurut kamu bagaimana kapasitas semua kandidat di depan?
“Yang jelas, mereka adalah yang terbaik dari daerahnya. Setidaknya begitu. Kita hanya bisa berharap bahwa intrik-intrik politik tidak begitu kental mewarnai pemilihan ini. Dan pemilihan mereka di daerahnya sebelum diusung sebagai calon ketua umum pusat.”
“Key?” Rina mengerutkan dahi meminta penjelasan lebih lanjut.
“Kita semua tahu bahwa acara dua tahunan ini menjadi ajang perebutan tampuk kepemimpinan”, Rina mengangkat kedua tangannya sambil membentuk tanda kutip di udara, jadi seharusnya kita mencari pemimpin yang capable, berkualitas, punya kepribadian dan bertanggungjawab.”
“Yah, kita hanya bisa berharap bukan?” Rina menimpali. “Tapi coba kita memandang persoalan ini dari sudut kita Key.”
“Ya?” Keyla menunggu.
“Kita contohkan pada diri kita sendiri. Sebagai delegasi dari DKI Jakarta kita menginginkan calon yang kita usung terpilih sebagai ketua umum pusat. Dan mungkin saja kita tahu bahwa ada calon dari daerah lain yang lebih capable. Tapi, dapat dipastikan bahwa kita tetap akan memperjuangkan calon yang kita usung. Lantas?” Rina mencoba mencari persetujuan di wajah Keyla, tapi tak terbaca.
“Memang begitu dan akan selalu begitu”, sesal Keyla, setiap daerah pasti menginginkan mereka memegang posisi strategis itu. Tidak ada yang mau berbesar hati untuk menyerahkan sebauh amanah kepada orang yang mampu begitu saja. Mungkin ada”, Keyla meralat sedikit ucapannya, tapi tidak akan bisa mengemuka karena kita tidak datang atas nama pribadi melainkan atas nama organisasi sehingga harus mengikuti keputusan yang telah disepakati bersama. Memberikan suara kepada pihak lain walaupun ia lebih baik, akan dianggap sebagai pengkhianatan.”
Rina tampak berpikir. Sementara Keyla kembali memperhatikan perdebatan yang kian seru di antara para kandidat dan delegasi.


“Peluang kita untuk menang sangat tipis.” Ketua umum DPD DKI Jakarta, Andi, berusaha menjelaskan posisi mereka kepada semua utusan dari DKI di dalam sebuah ruangan tertutup. Ruangan itu adalah kamar bagi peserta laki-laki dan kebetulan yang ditempatkan di sana semuanya berasal dari DKI sehingga kamar pun menjadi multi fungsi. Tidur, rapat, makan dan bersenda gurau melepas lelah.
Kamarnya diisi dengan dua ranjang besar. Satu ranjang bisa memuat sekitar 6 orang. Di beberapa tempat terlihat travel bag tergeletak dan isinya, menghambur keluar.
“Kita mempunyai saingan yang erat. Satu hal yang penting, kita sudah kalah langkah dan strategi. Delegasi dari Jawa Timur telah menggandeng beberapa DPD. Kalau kita tetap maju hanya dengan bantuan dua DPD lain dari Bali dan NTT, dipastikan kita akan kalah.”
Suasana begitu hening. Mereka semua menyadari bagaimana posisi mereka saat ini. Mengingat perjuangan yang telah mereka lakukan sejak beberapa bulan yang lalu sebelum kebarangkatan ke lokasi, maka hasil yang diperoleh sangat mengecewakan. Hanya karena kalah cepat. DPD lain yang tidak mengusung calon, tidak mau menawarkan diri untuk bekerjasama, tetapi mereka menunggu untuk diminta. Dengan begini mereka akan daya tawar.
“Jadi?” Keyla memecah kesunyian. “Kita akan berkoalisi mendukung calon lain dan menyimpan harapan besar kita? Kita masih punya waktu bila kita ingin menggalang suara lebih bannyak.” Rina melongo mendengar kata-kata Keyla. Baru tadi pagi ia berkata tentang idealisme, tapi sekarang nepotismenya muncul tak terbendung. Tapi, Rina mendengar suara di sudut lain pikirannya, Kak Ryan punya segalanya. Ya, tentu saja Keyla berpikir bahwa Kak Ryan pantas untuk posisi ini. Rina memahami.
“Kalaupun kita bergerak sekarang dan setiap orang dikerahkan untuk melobi setiap DPD, tetap saja kita sudah kalah langkah. Menurut informasi yang saya dapatkan, Jatim sudah menggandeng 15 DPD yang punya banyak masa. Pilihan yang aman untuk kita adalah mengalah dan berkoalisi dengan yang lain.”
“Mengapa kita tidak berkoalisi dengan Jawa Timur Kak?” Rina mengusulkan. “Bila kita membantu mereka…” kalimatnya terputus ketika ia melihat Keyla memandangnya tak percaya dan ekspresi yang lain tak berbeda. “Cuma usul.” Rina mengakhiri.
“Kita punya dua tawaran, pertama dari Aceh dan yang kedua dari Kalimantan Barat. Peluang untuk menang sama. Tapi kita akan memutuskan untuk bergabung dengan Aceh.” Andi berhenti, melihat efek kata-katanya. “Suara kita akan menentukan.”


“Kita kalah.” Kata-kata itu terasa menghujam jantung.
“Jangan menyalahkan diri sendiri Ndi, kita sudah berusaha.” Ryan mencoba menenangkan. Sikanya memang selalu bisa membuat orang lain nyaman berada di sisinya dan kata-katanya bisa menjadi penyejuk dalam kegundahan. “Sebuah pertarungan mengharuskan adanya pemenang. Bila hari ini kita tidak meraihnya, bisa jadi 2 tahun yang akan datang.”
“Yang saya tidak habis pikir, kenapa bisa suara kita berkurang satu?” Andi mencoba mencari jawaban. “Padahal kita sudah mewanti-wanti bahwa kemungkinan selisih suara hanya satu. Ini berarti ada di antara kita yang memberikan suaranya kepada yang lain. Bila kita berada di posisi kedua, setidaknya kita masih diperhitungkan. Tapi kita hanya berada di tempat ketiga.”
“Belum tentu yang berkhianat itu ada di antara kita Kak”, Keyla bicara dengan sedikit memaksa agar suaranya terdengar meyakinkan, bisa jadi kesalahan itu dilakukan oleh peserta koalisi yang lain.” Bersamaan dengan itu ia melirik Rina yang duduk tertunduk. Aku harap bukan kamu Na, batinnya.


“Key, ingat Kak Habil?”
Keyla terlihat berpikir, beberapa kerutan muncul di keningnya. “Ketua umum pusat? Kenapa Na?”
Rina tersenyum menggoda. Menantang Keyla menebak.
“Ya?” Hanya itu tanggapan Keyla.
“Dia, Kak Habil nge-sms aku, Key.” Rina mencoba meredam suaranya.
“Sms?”
“Iya, Key. Aku jadi tersanjung Key. Siapa yang akan menyangka seorang ketua umum pusat ternyata memperhatikan keberadaanku di munas kemaren.” Pandangannya melayang jauh. “Besok dia mengajakku makan malam keluar. Aku belum tahu akan diajak kemana. Tapi kemanapun, pastinya akan jadi malam yang indah karena ditemani Kak Habil.”
“Pertemuan yang keberapa Na?” Keyla meneruskan ketikannya.
“Maksudmu Key?” Rina bingung.
“Ini bukan pertemuan yang pertama sejak munas bulan lalu bukan? Itu juga bukan sms pertama dan jangan bilang dia belum pernah menelponmu. Kau boleh saja merahasiakan semuanya dariku Rin, tapi berhati-hatilah dengan hatimu. Jangan menyakiti diri sendiri dan jangan sakiti Kak Farhan.”
“Key, bagaimana mungkin kau berpikir begitu?” Rina kaget melihat sikap sahabatnya.
“Jujurlah Rin, kalian sudah sering bertemu bukan?” Keyla berbalik menghadapi sahabatnya.
“Ya, aku…kami bertemu hampir tiap minggu.” Rina tertunduk.
“Perasaan apa yang kau simpan untuknya Rin? Tak ada kekagetan dalam suara Keyla.
“Aku mengaguminya, itu saja.”
“Semoga Rin. Dan berhati-hatilah dengan perasaanmu.”
Kembali hening.


Keyla terbangun karena suara isak tangis yang cukup keras. Ia mengerjap-ngerjapkan mata. setelah matanya terbiasa dengan gelap, ia bangun dan mencari-cari asal suara. Suara tangis itu makin kencang. Ia bangkit dan menyalakan lampu di ruangan tempat ia dan Rina tidur. Tempat tinggal mereka adalah rumah petak dengan 3 ruangan plus kamar mandi. Di ruang depan ada dua lemari besar penuh buku. Ruangan ini jadi ruangan serba guna, mulai dari menerima tamu, belajar, atau sekedar duduk-duduk melepas lelah. Ruang kedua, dijadikan sebagai ruang tidur dan seperti ruang depan, juga jadi ruang serba guna. Sebuah televise ada di sudut ruangan. Ruang ketiga adalah dapur.
Berjalan ke ruang depan, Keyla mendapati Rina duduk di pojok. Ia terus menangis sementara berbicara dengan seseorang ditelpon. Keyla melangkah berniat mendekati dan mencoba memberi kekuatan, tapi sejenak kemudian ia mundur. Biarkan ia menyelesaikan dulu bicaranya, pikirnya. Keyla kembali ke kasurnya dan berbaring. Ia mencoba berpikir, mungkinkah Rina sedang ditelpon Kak Farhan? Tapi masalah apa? Keyla tak bisa memikirkan jawabannya. Lebih baik menunggu, pikirnya.
Keyla pasti jatuh tertidur. Ketika ia bangun, ia mendapati Rina tidur di sebelahnya. Ataukah semalam ia bermimpi mendengar suara tangisan?
Berusaha untuk tidak membuat suara, Keyla bangkit ke kamar mandi. Saatnya shalat subuh.


Pagi Minggu. Rina msaih tidur dengan pulas ketika Keyla berangkat jogging. Tak lama kemudian ia bangun dan duduk dengan lesu di kasur. Belakangan ini banyak sekali kejadian di luar kendalinya yang memporak porandakan konsentrasinya. Namun yang paling mengganggunya adalah sikapnya yang masih merahasiakan segalanya pada Keyla. Rasa saling percaya yang mereka bangun seharusnya sudah ia rusak. Akankah ia berani untuk mengungkapkan segalanya ketika sudah terlambat? Ketika keputusan yang diambilnya telah menyakiti banyak pihak. Mungkin juga menyakiti Keyla.
Bagaimana caranya untuk berterus terang, batinnya. Cukupkah satu kata maaf? Akankah Keyla memahaminya?
Sebuah sms masuk.
Rin, hari ini ada agenda? Mau ke Taman buah? Jam 8 di halte kampus, oke?
Tawaran yang menarik. Daripada harus berkutat dengan segala masalah lebih baik jalan-jalan untuk meregangkan otot dan merefreshkan otak. `
Ia mengetik sms dan mengirimnya. Delivered to Kak Habil. Sebuah sms lain untuk Keyla.
Key, aku pergi ke Taman buah sama teman.


“Tolong mengerti aku, Kak,” suara itu hilang dalam tangisan. “Demi Tuhan, aku nggak pernah meniatkan hal ini.”
Jeda.
“Iya, aku tahu ini salah, tapi tolonglah untuk memahami posisiku. Siapa yang bisa membohongi hatinya sendiri? Aku hanya mencoba untuk berkompromi dengan hatiku, tapi ternyata aku salah. Dan sekarang aku menyadari itu. Aku memang mencintainya –maksudku, pernah mencintainya.” Rina makin histeris. Tangisnya tak terbendung.
“Semudah itu kau mencintai seseorang ketika di hatimu juga ada laki-laki lain yang juga mencintaimu?” Farhan mendebat. “Sekarang coba kau lupakan dia secepat kau mencintainya. Kebohonganmu sungguh menyakitiku.”
“Aku tak pernah bermaksud, Kak.” Suaranya lebih mirip bisikan.
“Mengkhianati kepercayaanku?”
Keyla yang sedari tadi berdiri mematung di pintu merasakan suasana semakin tidak nyaman. Ia bingung menentukan sikap. Suara-suara yang tadi bertengkar di dalam ruangan kini tergantikan sepi yang hanya diselingi isak tangis Rina. Akhirnya Keyla memutar badan tepat saat pintu dibuka. Keget, Keyla tak tahu harus berkata apa.
“O.., hmm, Kak…sudah lama?” Hufh, Keyla mengehembuskan napas perlahan. Bukan pertanyaan yang membantu bagi Kak Farhan ketika suasana hatinya tak menentu. Tapi hanya itu yang terpikirkan oleh Keyla, setidaknya saat itu.
“Saya mau pulang Key, tolong jaga Rina.” Tampang Farhan kian lesu
“I…iya Kak, iya.” Rina jelas tak mengerti
Farhan meninggalkan ruangan dan Keyla segera menghambur ke dalam rumah dan mendapatkan Rina meringkuk di kasur. Tangisnya tak kunjung berhenti walau ia berjuang untuk itu. Beban seberat apa yang ia tanggung? Batin Keyla. Pasti ada hubungannya dengan Kak Farhan, pikirnya.
Keyla berpikir sebaiknya Rina dibiarkan dulu untuk menngeluarkan semua bebannya lewat tangisan. Setelah dia lega barulah bijak untuk mangajaknya bicara. Berpikir seperti itu, Keyla menuju dapur, mengambil minum dan duduk di pintu yang memisahkan ruang depan dan ruang tidur. Ia mengamati sembari menebak-nebak permasalahan apa yang mungkin dihadapi Rina. Tak biasanya ia sehisteris ini. Ia kelihatan sangat terpukul.
“Key,” Keyla terperanjat mendengar Rina memanggilnya. Pikirannya entah melayang kemana barusan.
“Ya Rin.” Sahutnya.
“Saya mau cerita dan saya harap kau mau memahami persoalan yang kini ku hadapi.”
“Iya, cerita saja Rin.”
Rina tak langsung bicara. Ia menundukkan kepala seakan-akan ia akan membuat pengakuan yang bisa menjadikannya terhukum. Ia mengangkat kepala dan menatap Keyla.
“Kau pasti akan marah Key.” Rina memulai, matanya kembali berkaca-kaca.
“Cerita Rin, aku nggak akan pernah tahu kalau kau tidak mau terbuka. Itu artinya aku tidak akan bisa menentukan sikap. Ceritakan, semoga aku bisa membantu.”
“Aku…”
“Ya.” Pancing Keyla
“Aku mencintai Kak Habil.”
“Mencintai…siapa?” Keyla duduk tegak. “Kau serius Rin?”
“Dia juga mencintaiku, kami saling mencintai dan kami juga sudah saling mengungkapkan perasaan masing-masing.”
“Rin…” Keyla tidak bisa menemukan kata-kata untuk menanggapinya.
“Aku mencintainya Key,” tangis Rina tak lagi terbendung, “apa salah kalau aku mencintai? Aku hanya mengungkapkan apa yang aku rasakan. Apa salah kalau aku…” tangisnya makin jadi.
Keyla bergeming. Ia berusaha mencerna fakta-fakta demi fakta yang kini ada di hadapannya.
“Apa salah Key?” Rina menggoyang tubuh Keyla.
“Aku tak pernah meminta agar perasaan ini datang, tapi aku tidak mampu untuk berpura-pura seakan-akan tidak ada yang terjadi. Tolong bicara Key.”
“Aku pikir hubungan kalian hanya sebatas teman. Sejak kapan kau mencintainya?” Keyla memandangnya lurus.
“Sejak hari pertama kita pulang dari munas. Kak Habil mengirimiku sms dan ia terus mencoba untuk menjalin komunikasi denganku. Setelah seminggu ia malah rutin menelponku setiap malam sebelum tidur. Akhirnya perasaan kagum yang aku rasakan ketika pertama kali bertemu dengannya di munas malah berubah menjadi cinta. Tapi apa itu salah Key?”
“Kau tidak mengaguminya, tapi kau mencintainya sejak kita di lokasi munas. Bukankah aku pernah mengingatkanmu untuk tidak bermain api Rin?” Tegas Keyla.
“Bantu aku Key. Aku tahu kalau aku salah, tapi sikap Kak Farhan sungguh tak membantu. Ia membenciku untuk kesalahanku kali ini. Dia tidak mau menerima kenyataan ini, Key.”
Keyla terdiam. Ia merenungi hari demi hari yang telah mereka lalui sejak berakhirnya munas di Kalimantan. Apa yang telah terjadi pikirnya. Apa cinta memang sedemikian rumit? Apa bisa hati yang sedang mencintai tertawan oleh cinta yang lain? Keyla memandangi Rina yang terlihat berjuang menahan perasaannya. Ada apa denganmu Rin, batin Keyla. Apakah ada sesuatu yang lain yang belum aku ketahui? Apa lagi yang kau sembunyikan dariku? Apa arti persahabatan kita selama ini bila masih ada rahasia?
“Rin.”
Rina mendongak dan menatap Keyla.
“Apa yang ingin kau lakukan sekarang?”
“Key?”
“Siapa yang akan kau pilih?” Keyla menjelaskan
“Ak...aku tak mungkin melakukan itu Key, aku tak bisa memutuskannya. Aku mencintai Kak Habil dan aku juga tidak tega menyakiti Kak Farhan.”
“Tidak tega?” Mata Keyla menyipit. “Apa itu berarti tak ada lagi cinta untuk Kak Farhan Rin? Apa semudah itu kau melupakan perasaanmu terhadap orang yang telah mengisi hatimu selama dua tahun? Orang yang telah mau mengorbankan apa saja untukmu.
“Tapi perasaanku pada Kak Farhan sudah tidak sepeti dulu Key. Hatiku tak lagi untuknya, tidak seluruhnya. Aku telah menempatkan Kak Habil di sisi lain hatiku dan dia merenggut semuanya. Tak lagi menyisakan tempat untuk yang lain, tak terkecuali Kak Farhan.”
“Kau sadar apa yang kau ucapkan Rin?” Keyla terbelalak mendengar jawaban Rina. Siapa yang bisa mendunga bahwa hati akan berubah secepat itu? Siapa yang pernah menduga bahwa cinta juga mampu berkhianat?
“Inilah yang aku rasakan Key.”
“Kau baru mengenal Habil tiga minggu. Pertemuan dan perkenalan sesingkat itu tak akan menceritakan semua tentang dia. Ini hanya perasaan sesaat Rin, lupakanlah Habil dan tata kembali hatimu. Minta maaflah pada Kak Farhan karena dia tak selayaknya kau sakiti seperti ini.”
“Key, kau tak tahu sejauh apa aku mengenal Kak Habil dan kau tak akan mengerti bagaimana perasaanku padanya, karena...”
“Ya, aku tak pernah tahu seberapa besar cintamu pada Habil dan aku tak akan mengerti posisimu saat ini karena hatiku tak pernah terbagi dan tak akan pernah aku mengizinkan itu terjadi.”
“Key!” Rina kaget mendengar suaranya. Tak pernah ia membentak Keyla sebelumnya dan tak pernah terlintas dalam pikirannya kalau ia akan melakukannya. “Key, aku sangat mencintainya.” Suaranya melemah.
“Tenangkan dirimu dan pikirkan dengan baik. Siapakah yang akan kau pilih. Bagaimanapun juga kau harus memilih. Aku tak akan menyalahkanmu tentang ini.” Wajah Keyla tak terbaca tetapi suaranya datar. Tak ada nada amarah tidak pula kecewa atau prihatin. “Jangan pernah mendustai hatimu dan jangan menyakiti lagi.” Keyla bangkit berganti pakaian dan mulai menekuni tugas kuliahnya yang menumpuk.


Ruang rapat penuh suara-suara yang terdengar gelisah. Entah apa yang sedang mereka bicarakan. Ketika Rina masuk dan bergabung, suara-suara itu spontan berhenti. Merasa ada yang aneh, Rina menncoba mencairkan suasana dengan menceritakan bahwa ia dipilih oleh pengurus pusat untuk ikut dalam sebuah LSO Pusat. Bukannya bersimpati, semua wajah terlihat saling bertanya-tanya dan seakan-akan berbicara satu sama lain lewat ekspresi yang bagi Rina tak terbaca.
Karena tak satupun yang menggubris perkataannya, Rina mencoba mengalihkan pembicaraan. “Dimana Keyla dan Kak Andi?”
“Andi masih dalam perjalanan pulang dari pertemuan pimpinan daerah se Jawa-Bali. Keyla sepertinya masih kuliah.” Gilang yang menjawab. Ia menjabat sebagai sekretaris umum di pimpinan daerah Jakarta. “Kalau tidak salah dengar, Kak Ryan mau datang hari ini. Kira-kira Keyla tahu nggak ya?”
“Kak Ryan? Bukannya masih menyelesaikan studinya di Kanada? Kenapa harus pulang secepat itu?” Rina mengekspresikan kebingungannya.
“Yah, pasti ada hal penting yang ingin ia lakukan di sini. Meninggalkan kuliah hanya untuk menemui Keyla, kedengarannya bukan seperti Kak Ryan. Dan Keyla akan sangat bila itu memang terjadi.” Kali ini David yang menanggapi.
Pembicaraan mereka semakin panjang dan semakin banyak topik yang dibicarakan. Mulai dari pengurus daerah yang kuliahnya masih terbengkalai sampai bakso mana yang menurut mereka paling enak di wilayah matraman itu.
Tepat saat azan ashar berkumandang, Andi datang membawa tas ransel yang semakin penuh dan besar. Pastinya ia membawa banyak oleh-oleh untuk anak-anak daerah. Bali bukanlah tempat yang gampang diraih, jadi akan sangat tidak sopan, bila sekembalinya dari sana tidak membawa apapun untuk wajah-wajah yang berharap di ruangan rapat itu.
“Sehat semua?” Itu kalimat pertama yang Andi ucapkan. Wajahnya sumringah walaupun terlihat jelas tanda-tanda sehabis bepergian.
“Bagaimana kabar Bali kalau begitu Ndi?” Terdengar suara dari pintu yang baru saja dimasuki Andi. Di sana berdiri Ryan dan Keyla. Semua mata melotot sebelum akhirnya berteriak histeris. “Kak Ryaaaaaan!”
Sambil tersenyum lebar, Ryan berjalan ke dalam ruangan diikuti Keyla di belakangnya.
“Angin apa kiranya yang bisa mengambilmu dari aktivitas perkuliahan yang sibuk Yan?” Andi merangkul sahabatnya.
“Kerinduan pada kalian,” candanya, walaupun ia menunjukkan mimik serius.
“Sangat masuk akal kalau begitu,” ledek Andi sambil melirik Keyla yang sekarang sudah duduk di kursi di dekat Ryan dan Andi berangkulan, “apa putri kecil kita ini tidak bisa tahan ditiinggal terlalu lama?” Andi menatap Keyla sambil tertawa.
“Kira-kira begitu?” Kata-kata Ryan membuat Keyla bersemu merah.
“Kalau begitu ayo kita saling bercerita.” Andi mengambilkan kursi untuk mereka berdua.
Setelah berbasa-basi tentang kondisi masing-masing sambil melahap oleh-oleh dari Bali dan Kanada, mimik Ryan tampak mulai serius.
“Teman-teman semua dan adik-adikku juga,” ia menatap semua orang yang ada di ruangan, seakan memastikan mereka semua memberikan perhatian padanya, “aku bukannya ingin mengungkap permasalahan lama. Aku juga bukannya tidak rela dengan kekalahan kita dalam munas.” Ryan diam sejenak. Semua yang hadir mengerutkan kening. Mereka tidak mengerti arah pembiacaraan Ryan. Pemilihan apa? Masalah yang mana? Kekalahan siapa?
“Tapi,” Ryan melanjutkan, “ada sedikit permasalahan yang menyita perhatianku, sehingga aku memutuskan untuk pulang dan mencoba membicarakannya dengan teman-teman di sini. Walaupun sebenarnya kepulanganku bukan karena permasalahan ini, tapi karena aku sudah ada di sini, kenapa tidak kita menyelesaikan masalah kecil ini.
Ryan menatap Rina dengan tatapan menilai. Ia seakan-akan tidak lagi mengenal anak itu. Kader yang sudah ia bimbing selama hampir 4 tahun. Menyadari tatapan Ryan, Rina mencoba membalas dengan tersenyum.
“Kasus ini terjadi sekitar 6 bulan yang lalu, dalam munas.” Ryan memulai.
Semua mata saling pandang, ruangan mulai dipenuhi dengung-dengung suara yang saling bergumam. Mencoba menebak arah pembicaraan Ryan. Satu-satunya permasalahan yang terjadi ketika munas 6 bulan lalu adalah kekalahan mereka karena salah satu dari mereka mamilih kandidat lain. Sampai hari ini tidak diketahui siapa yang telah mengkhianati perjuangan mereka. Walaupun banyak spekulasi dalam benak masing-masing, akan tetapi tak satupun yang mencoba untuk bertanya, masalah apa gerangan yang dimaksud Ryan. Mereka menunggu.
“Teman-teman pasti ingat kalau kekalahan kita disebabkan hilangnya satu suara yang seharusnya menjadi milik kita.” Ryan mengedarkan pandang, memastikan semua orang mencerna kata-katanya. “Setelah keberangkatan saya ke Kanada, hubungan dengan teman-teman dari Aceh. Mereka mengatakan bahwa setelah melakukan komunikasi dengan kader-kader yang menjadi delegasi Munas, tak satupun yang mengaku bahwa mereka membelot. Dan mereka yakin kalau itu benar.” Ryan berhenti sejenak.
Rina bersemu merah. Ia tak mampu menatap Ryan.
“Sebulan yang lalu saya mendapat kabar yang cukup menghentak. Awalnya saya tidak percaya dan tidak mau percaya pada berita itu. Saya beranggapan bahwa itu hanyalah isu-isu yang disebarkan untuk membuat kita saling mencurigai.” Ryan berkata dengan mimik sangat menyesal.
“Jadi kesimpulannya, pihak kita yang telah melakukannya? Apa begitu Kak?” David terlihat marah. Siapa kalau begitu? Semua delegasi Munas ada di sini, jadi sebaiknya kita selesaikan masalah ini sekarang.”
“Saya tidak ingin teman-teman emosi. Kita akan menanyakan apa alasannya. Bila masuk akal, tentu kita terima dan itu bisa menjadi kritik yang membangun. Namun bila tidak berlandaskan alasan yang rasional, saya harap kita bisa mengambil sikap dengan bijaksana.” Ryan menimpali.
“Bagaimana mungkin kita memaafkan kesalahan sebesar itu Yan?” Kali ini Andi yang berbicara. Raut mukanya tak berbeda dengan David. Apalagi ia merasa bertanggungjawab atas semua kader yang menjadi delegasi Munas, memastikan mereka setia.
“Bagaimanapun juga masalah ini sudah berlalu. Saya membukanya di sini bukan bermaksud untuk menghakimi, tapi agar kita bisa belajar dari kejadian yang lalu. Siapa saja yang kira-kira dapat dipercaya. Memilih orang yang benar-benar loyal bukanlah hal yang gampang. Kita tidak boleh memberikan amanah secara asal. Apalagi sebuah amanah yang besar.” Ryan melanjutkan.
Rani kian tertunduk. Ryan melirik dari sudut matanya. Sementara yang lain tak ada yang menyadari perubahan pada Rani.
“Oke, kalau begitu katakan siapa orangnya Kak.” Keyla mendesak.
“Berjanjilah bahwa kalian akan menyikapinya dengan bijaksana dan kepala dingin.” Ryan bersungguh-sungguh.
Semua yang hadir menganggukkan kepala. Menatap Ryan, menunggu keluarnya satu nama dari mulutnya.
“Kenapa kau lakukan itu Rin?” Kali ini Ryan memandangnya dengan tajam.
Rina terus menunduk. Ia berjuang melawan air matanya.
“Yan, siapa orangnya? Kenapa malah bertanya kepada Rina? Memangnya Rina melakukan apa?” Andi kebingungan, yang lain tak berbeda.
“Katakan saja Rani, mungkin alasanmu masuk akal.” Ryan mengacuhkan pertanyaan Andi. Ayo, katakan saja. Siapa yang kau pilih kalau begitu? Habil? Kenapa?”
Keyla yang sedari tadi berjuang memahami arti setiap kata-kata Ryan, terbelalak dan secara spontan memutar badan menghadap Rina. “Kau? Apa benar Rin?” Matanya berkaca-kaca. Yang lain segera menyadari maksud kata-kata Ryan dan sama seperti Keyla, langsung menatap Rina.
“Jelaskan kalau begitu.” Andi menatapnya tajam.
“Rin...apa harus begini? Kenapa tak pernah jujur? Sejak kapan kau mulai bohong padaku?” Keyla sangat terpukul. “Apa Habil jauh lebih berharga dari organisasi kita ini? Apa amanah yang kau pikul tak ada apa-apanya dibanding Habil? Lalu kini apa yang kau dapatkan darinya? Apa yang ia berikan untuk membalas kebaikanmu?” Keyla menekankan nada suaranya. “Oh, ya tentu saja. Kenapa aku lupa? Kau mendapatkan cintanya. Kenapa bisa kau begitu egois?
“Key?” Rina menatap Keyla.
“Lalu apa Rin?” Keyla menatapnya.
“Key, tahan emosimu!” Ryan mencoba menenangkan Keyla.
“Ternyata,” Keyla tak menggubris Ryan. “kau bukan hanya mengkhianati Kak Farhan tapi juga mengkhianati kamu semua. Mengkhianati organisasi ini. Bagaiaman kau akan bertanggungjawab? Apa itu semua agar Habil bisa menetap di Jakarta dan akhirnya kau akan bisa sering bertemu? Dan kau mendapatkannya bukan? Kau puas Rin?” Air mata Keyla tak terbendung lagi. “Aku tak pernah berpikir akan dikhianati seperti ini olehmu Rin. Tidak, setelah kita berbagi suka dan duka bersama selama 4 tahun.”
“Key, tahan!” Ryan kembali menasehatinya.
“Bagaimana aku bisa tahan Kak?” Keyla menjawab tapi matanya terus menatap Rina. “Sekarang,” Keyla kembali bicara kepada Rina, “apalagi yang akan kau jelaskan? Maksudku, alasan apa yang kau miliki untuk tindakan bodohmu itu?”
“Kau mengatakan bahwa kita harus memilih pemimpin berdasarkan kapabilitas mereka kan Key?” Suaranya terdengar bergetar, tapi ia terus bertahan agar tak ada air matanya yang mengalir.
“Dan kau berpikir bahwa Habil lebih baik dari Kak Ryan? Sudah berapa lama kau mengenalnya sampai kau bisa berkesimpulan seperti itu? Kenapa cinta begitu mudah membutakan matamu? Apa yang akan Kak Farhan katakan kalau dia mendengar ini?” Keyla terus memberondongnya dengan pertanyaan-pertanyaan.
“Aku sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi dengan Kak Farhan, jadi jangan bawa-bawa namanya di sini.”
“Rin....” Keyla terbelalak. “Aku tak mengenal dirimu yang sekarang Rin.” Suara Keyla melemah. “Bagaimana kau akan bertanggungjawab?”
“Jelaskan Rin.” Kali ini Andi yang bicara. Pengurus yang lain terus menyimak dengan seksama. Mereka mencoba mencerna fakta demi fakta yang kini disajikan ke depan mereka. Siapa dari mereka yang menyangka bahwa Rina yang begitu fanatik terhadap organisai mereka bisa berbuat seperti itu?
“Tak ada yang bisa aku jelaskan Kak,” jawab Rina, “semua terjadi begitu saja. Aku ingin memilihnya ketika pertama kali aku melihatnya. Ya, mungkin Keyla benar, aku dibutakan oleh cintaku pada Habil. Aku bertindak egois. Sekarang aku harus apa? Apa yang kalian inginkan dariku? Aku akan meninggalkan organisasi ini jika itu memang harus.” Rina menunduk. Tak mampu memilih. Ia mencintai Habil, tapi di sisi lain ia tidak sanggup kehilangan teman-teman se-organisasi yang telah menemaninya selama empat tahun. Memberinya dukungan ketika lemah, mengingatkan ketika lupa, menemani ketika sendirian dan member senyuman ketika ia bosan. Sekarang harus bagaimana, pikirnya. Mengapa Habil harus datang dalam kehidupannya. Yang paling menyakitkan dari semua itu di atas segalanya adalah kenyataan bahwa ia telah membohongi Keyla entah untuk keberapa kali. Kemarahan Keyla padanya mungkin sedikit megurangi rasa bersalahnya. Tapi akankah Keyla memaafkannya? Lalu Kak Farhan. Apa yang akan ia pikirkan tentang aku? Pengkhianat? Ya, apalagi selain itu. Tak bisa lebih dari itu bukan.
“Seharusnya kau menebus kesalahanmu, bukannya lari Rin.” David terdengar sengit.
“Lalu apa yang harus aku lakukan? Aku tidak mampu bertahan di tengah orang-orang yang mulai membenciku dan tidak mempercayaiku.”
“Kau yang membuat keadaan jadi begitu Rin.” David kembali menimpali.
Rina melirik Keyla yang berjuang melawan perasaannya. Ryan telah pindah duduk di sisinya untuk menenangkan. Betapa menyakitkan melihat Keyla yang begitu menderita. Aku telah merenggut kepercayaannya, batin Rina. Apa masih ada yang tersisa? Siapa aku berani berharap begitu? Sahabat? Sahabat macam apa yang tega bertingkah seperti ini? Cinta memang fitrah, tapi ketika ia datang pada tempat, waktu dan orang yang salah, beginilah jadinya. Aku telah menghancurkan harapan semua orang. Harapan semua anggota dan pengurus daerah. Bukankah kepergianku akan menyelesaikan semuanya? Rina mencoba membulatkan tekad.
Hening yang begitu lama membuat suasana kian tidak nyaman.
“Kau harus belajar dari kesalahanmu,” Ryan mencoba memecah keheningan, “jangan pernah terulangi lagi. Aku minta maaf karena telah mengungkit masalah ini ke permukaan. Aku tidak bermaksud apa-apa. Aku juga tidak mendendam karena tidak terpilih menjadi ketua umum pusat. Akan tetapi aku ingin kalian mengerti dan menghargai pengorbanan bersama. Kita melakukannya untuk kebaikan bersama. Jadi jangan sampai terulang kejadian seperti ini lain kali. Dan Rina, selesaikan masalahmu dengan Farhan sesegera mungkin. Pergi dari organisasi ini bukanlahh jalan keluar yang bijak.”
“Key,” Rina mencoba melunakkan hati Keyla, “aku tahu kau akan membenciku. Aku tidak bisa berbuat apa-apa untuk itu. Tapi aku masih mencintai Kak Habil. Aku sudah mengatakan bahwa hubunganku dengan Kak Farhan telah lama berakhir.”
“Aku tak perlu tahu,” balas Keyla, ia terlalu lemah untuk mendengar pengakuan yang begitu mengagetkannya, “kau punya hak atas hatimu. Itu bukan urusanku Rin. Lakukan sesuai kehendakmu.”
“Aku tahu kau marah Key. Semuanya, aku pamit dulu.” Rina memandang temannya satu persatu. “Aku ingin menenangkan diri.” Rina bangkit dari kursinya dan berjalan ke pintu. Di ambang pintu ia berdiri dan memandang orang-orang yang ia sayangi. Aku akan pergi, karena hanya ini yang bisa mengobati luka yang aku goreskan. Maaf. Semoga kemurahan Tuhan membuat kita bertemu lagi, batinnya.
Rina melangkah keluar dan semua orang di dalam ruangan larut dalam pikiran masing-masing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar