Selasa, 22 Desember 2009

5 Karya Puisi Terbaik (Lomba Tulis Baca Puisi)

Ini dia 5 Karya Puisi Terbaik dari peserta Lomba Tulis Baca Puisi yang diselenggarakan oleh Lembaga Sastra Tinta pada tanggal 5 Desember 2009 bertempat di Aula Fastabiqul Khairat.
Lima karya puisi tersebut telah dipilih dan diseleksi melalui penilaian panitia dan dewan juri lomba dengan kriteria penilaian antara lain: Unsur Puitik, Diksi, Majas, Pesan yang disampaikan, dll. Berikut adalah rincian judul puisi dan penulisnya:

  1. Terbaik 1, "Panorama Musim Dingin Seorang Tahanan" Karya: Prima Yulia Nugraha
  2. Terbaik 2, "Sajakku tak Seanyir Darahmu" Karya: Suyuthi
  3. Terbaik 3, "Waktu Bilang Liar" Karya: Dini Hayati Nufus
  4. Terbaik 4, "Kehidupan" Karya: Syahidah Belanisa
  5. Terbaik 5, "Aku Seorang Hamba" Karya: Atika

Senin, 21 Desember 2009

Aku Seorang Hamba (Terbaik ke-5)

Oleh : Atika


Kecil aku diantara semua..
Memang kulit sering terlupa, apalagi pohonnya?
Acuh dan dusta jadi senjata
Mengira-ngira setiap masa

Adakah lautan api yang dijanjikan
Apakah telah ditakdirkan
Esok adalah abu-abu,
Jingga hari ini mungkin tak ada lagi

Jadi ratu atau budak nanti...
Lewat hari terus jalani..
Ku bergantung pada janji-Mu, Wahai sang juru selamat
Hanya mampu berharap dapat syafa'at

Kitab-kitab banyak merekam kisah
Dokumentasikan taat atau khianat
Mungkinkah kan terbayar dengan ibadah
Bersihkan lembaran kotor yang pernah tercatat

Kehidupan (Terbaik ke-4)

Oleh: Syahidah Belanisa
Deru nafas menjelajah
Dalam ruang yang sama sekali tak ramah,
Bukan dengan akhir yang kata orang
Cuma titik tanpa makna,
Kita ragu,
Namun sang waktu terus memburu
Sekali pasrah tak akan terganti!!!
Lepaskan sejenak hampa dalam ragamu,
Sedetik rengkuh semenit rasa biarkan menyatu!!!
Ini kita,
Dalam balutan nada yang sering kali tak tampak seirama
Tak untuk diabadikan memang....
Tapi ramulah!!
Beri sedikit semangat, sesendok mimpi,
Dan izinkan diamenjadi akhir dari sebuah dilema hidup
Dan kita akan tahu,
Apa merah, mungkin biru, atau pakai marun saja,
Aku ingin membayangkannya
Putih bersih dengan sedikit semburat hijau...
Ehhm... Indah kan??
It seems one sight....but it's right!!
Let everyting gonna be my side
And you'll find it soon....

Waktu Bilang Liar (Terbaik ke-3)

Oleh: Dini Hayati Nufus


Waktu itu langit terlalu susah untuk aku sentuh gelapnya
Cuma terang siang, padahal yang kutunggu malamnya
Kemudian aku mengadu pada awan, tapi cuma mendung jawabnya
Cuma bisa mengadopsi basah hujan

Dan kaku ini terus berlanjut
Mengarah pada gubuk pinggir hutan, gelap rupanya
Ini yang aku mau
Tapi, ini bukan gelap malam
Kemudian tanganku mulai meraba
Ada lukisan
Gambaran tentang malam
Tapi, itu cuma gambar

Aaaah, aku butuh malam!
Biar aku bisa merayapi si subuh, cepat
Tapi, aku malah dibilang liar
Dasar waktu sudah membikin tak normal mimpiku
Doa di pinggiran khayal

Kalau serupa ini, baiknya ku cabik-cabik juga si waktu
Karena tak beri malam
Cuma bisa bilang liar

Tapi, apa mungkin aku yang memang liar?
Cuma hidup di malam
Menanti subuh dijadikan alasan
Doa digantikan khayal

Haha, ternyata aku yang liar!
Si waktu bilang benar
Aku yang liar!
Haha, aku yang liar!

Sajakku Tak Seanyir Darahmu (Terbaik ke-2)

Oleh: Suyuthi


bila ada luka menganga dalam jiwa. bunga-bunga tak habis mewangi sepanjang hari
jasad kita saling tatap muka. sebab di sana ada telaga untuk berjelaga
reranting dhuha belum terlalu patah ‘tuk kita hinggapi
masih sangat pagi, jika aku sabdakan cinta
pada pulau yang anyir ini
istana-istana kecil yang kubangun di ladang-ladang sembahyang. tiba-tiba roboh tiada berdiri
aku rebah di samping bayang sunyi
tempat bunda meninabobokkanku bersama angin

saat shubuh memanggul dzikirku pergi
keluar dari atmosfer bumi. kulihat para alien sedang mengusung beribu-ribu meteor
tangan kirinya memegangi obor
entah hendak kemana mereka ini

petir tahajjud menghempaskanku ke dasar mars
sendiri kutelusuri tanpa arah kutuju
desir darahmu mulai kudengar di sini
lapisan ozon berteriak akan ajalmu, meruncing
aku melompat dari satu planet ke planet lain
menginjak cincin saturnus, keras
duduk bersila sambil bertakbir :

allahu akbar allahu akbar allahu akbar
laa ilaaha illallaahuwallaahu akbar
allahu akbar walillahilhamd

kembali kutata sajak-sajak purnama
namun sajakku tak seanyir darahmu
kata ayahku sajak adalah bianglala
kata ibuku sajak adalah cahaya
kata guruku sajak adalah pelita
kata temanku sajak serba sempurna
kata mereka sajak adalah senja
kataku sajak adalah aku
sebab aku lahir dari sajak.

kosong. aku tersungkur. matahari masih mendengkur
malaikat tersenyum memainkan harmonica
rerumputan menimang-nimang embun. di samping tiang salam ini
kutemukan pecahan meteor tergeletak tanpa suara
ternyata shubuh yang menusuk-nusuk dada fajar
sampai aku benar-benar sadar. perahu mimpi telah lama tertambatkan.


Prenduan, 02 01 2007

Panorama Musim Dingin Seorang Tahanan (Terbaik 1)

Oleh: Prima Yulia Nugraha


dari lorong yang jauh seseorang menggema:
"ini bukan tempat singgah sementara!"
udara di sini mengendap jadi batu dan pada dinding tak ada rajah tapi
hanya lumut dan rasi bintang di atap tak beralih semenjak sakramen
terakhir diurungkan
adakah kita pernah berada di kehidupan ini? atau barangkali kehidupan ini terlalu tergesa seperti arus sungai yang setia membentur punuk batu?
dan wajahmu nampak beludru: dosa yang menjemput maut agar
menjelma bisik-bisik gaib di jam lengang tanpa dengung insekta, gemerisik semak-semak, ataupun desau angin yang lewat
lalu di detik yang mulai hanyut akan kau dengar dengkur penjaga yang tanpa ritme; dentang lonceng ke-30 yang menjadikan setiap kata tak perlu diucapkan
maka di tengah malam itu pun kau memindai suluh dari sisi tembok seperti api dari perapian yang sci dan murni: api yang membakar iman dan api yang menuntaskan bait-bait sajak
namun senantiasa kau susuri juga ingatanmu yang sayup-sayup itu:
sewaktu salju membebat sebelum malam tinggal kelebat seorang
perempuan paruh baya tengah menjerumat pakaian dan ia juga
yang segera membakar kayu-kayu supaya hangat meredam angkuh ruang tamu;
suatu ketika seorang lelaki yang belum genap sepuluh tahun tak
bisa memejamkan mata karena terjangkit insomnia dan perempuan itu
juga yang membacakan dongeng-dongeng yang usang sambil tak
menyadari jika waktu bergerak begitu singkat
adakah kita pernah bersua?
dua pucuk pistol yang kau terka di sebelah piring sarapan pagi seperti
kunci pintu sorga yang entah itu meskipun tak ada misa tak ada gereja
katamu di sini hanya ada kelam di sini tak ada pergantian siang dan
malam bahkan jejak-jejak yang kau lihat saban pagi semakin menjauh
dan tak berbekas
anyir dan bau kematian pun merebak ketika seorang raja murka:
melebur jeruji sel,
melelehkan perabot,
mengangkat lantai,
melenyapkan nama,
tapi betapa permaisuri berkata demikian:
kenapa bisa jadi begini?
bagaimana aku tak mengerti?
fermentasi anggur di kastil tua ini berlangsung gegas seperti sajak yang
rentan mencapai klimaks seperti telur-telur Paskah yang menetas di
laboratorium seperti abad yang tenggelam dalam amsal yang
serampangan seperti panorama musim dingin yang lekas selesai
adakah kehidupan ini hanya ilusi?

Kamis, 17 Desember 2009

Hanya Merindu (Puisi)

Pada hening tak brbising,
di ruang malam tanpa bintang
Detaknya beradu,
kudapati sepucuk rindu
Menelan bara harap temu,
hanya nikmati irama syahdu

Bayang itu mengusik,
redalah jiwa terbawa hujan rintik
Pada daun-daun basah,
di ruang hati yang resah
Tetesnya mengalir,
sepanjang tepi riak pesisir

Adakah aku mulai melangut,
menatap rembulan di samar kabut
Atau rinduku telah larut,
pada cintamu yang tak pernah surut

Oleh : Penyair Cinta
Ciputat, 17 Desember 2009

Selasa, 15 Desember 2009

Kenangan (Puisi)

Kelam malam memapah sunyi
Menatap pekat langit tak berbintang
Meratap hening jiwa yang lengang
Menghantar lilin-lilin malaikat mungil
Untukku dan bayangmu yang menghilang
Terbawa angin lalu

Kepadanya,
Cinta yang dulu pernah ada

Oleh: Penyair Cinta
Oktober 2007

Senin, 14 Desember 2009

Pagi Bisu (Cerpen)

Oleh
: Maharani


Siapa yang pernah tahu apa yang kini kurasakan? Kehilangan yang begitu menyakitkan. Kepergiannya yang tiba-tiba membuatku tak mampu berpikir jernih. Bayangan saat-saat bersamanya kembali hadir memenuhi pikiranku. Aku tak sanggup menerima kehilangan yang begitu tiba-tiba.
Rasa sesak membuncah memenuhi dada. Aku tak sanggup bernapas. Kenapa ini bisa terjadi? Kenapa disaat-saat seperti ini? Ketika selangkah lagi kami mencapai kebahagiaan.
Ini tak adil untukku.
Tidak juga untuknya.
Aku ingin berteriak, mempertanyakan takdir. Apa dosaku sehingga pantas mendapat ujian yang begitu berat?
Aku terus terisak di tengah lautan manusia yang terus berdatangan dengan wajah duka. Mengguncang tubuhnya yang telah kaku.
“Kembali”, teriakkanku teredam.
Tangisku teredam dalam isakan.
Tapi tak ada yang peduli. Dia tidak mendengarku. Senyum yang menghiasai bibirnya mulai samar. Bibir merah itu kini berangsur pucat sebelum akhirnya akan kehilangan warna.
Di sudut lain tenda seorang wanita menangis dalam diam.


“Na, udah dengar kabar gempa di Padang?”
“Iya, ini lagi nonton TV”, Luna menjawab telepon sambil memelototi televisi yang menayangkan secara langsung efek gempa di Padang.
“Kita kumpul di kantor besok pagi untuk merembukkan langkah-langkah yang kan kita ambil untuk membantu korban. Jam 08.00, okay?”
“Oke, habis ini aku langsung kontak teman-teman. Tapi aku telat ya. Besok sebelum jam 9 gue udah harus nyerahin skripsi ke dosen pembimbing. Ga pa pa kan Dit?”
“Yupz.”
Pembicaraan telepon itu berhenti. Luna mengambil laptopnya dan mulai mengirim e-mail ke semua aktivis LSM Peduli Sesama. Sebuah LSM yang bergerak di bidang advokasi. LSM ini memperjuangkan nasib anak-anak jalanan yang terlantar di Jakarta. Peraturan yang tidak bisa dikesampingkan dalam LSM ini adalah, setiap hari semua anggota harus nge-cek e-mail. Karena semua agenda, undangan dan pemberitahuan dikirim lewat e-mail.


Ruangan seluas 5 x 4 m itu penuh sesak. Bukan karena banyaknya manusia. Dalam waktu sehari, ruang ‘tamu’ LSM Peduli Sesama disulap jadi gudang penampungan bantuan yang akan disalurkan pada korban gempa Sumatera Barat. Hari ini adalah hari kedua sejak gempa terjadi, tetapi bantuan yang disalurkan lewat LSM ini sudah menggunung. Di ruang sebelah dalam, ruang rapat, terdengar suara-suara yang sedang merembukkan strategi. Siapa yang akan turun ke lapangan atau jadi relawan di lokasi dan siapa saja yang akan tinggal untuk terus menggalang dana dan bantuan lainnya.
“Gue pikir, Raditya harus ikut ke Padang, selain dia ketua, dia juga orang asli Padang. Sekalian dia bisa melihat kondisi keluarganya di sana.” Danang mengusulkan. Dewi si sekretaris sibuk mengukir di whiteboard.
“Kita butuh sekitar 10 orang untuk terjun ke lapangan. Dan gue sangat berharap kalian benar-benar ikhlas untuk memberikan waktu kalian untuk menangani bencana ini. Saya tahu, saat ini kita semua di sibukkan oleh tugas akhir dan persiapan untuk ujian akhir semester.” Raditya mengatakan kalimat itu seakan-akan keluar dari hatinya yang sedang dirundung duka mendalam. Bagi anggota LSM Peduli Sesama, ini bukan lagi hal aneh. Raditya memang selalu memperlihatkan kepedulian yang besar terhadap masalah-masalah serupa. Apalagi kali ini bencana itu mengguncang tanah kelahirannya.
Satu persatu nama-nama relawan mengisi whiteboard. Lengkaplah 10 orang.
“Selanjutnya kita…” Kalimat Raditya menggantung disela oleh sebuah suara yang riang.
“Pagi semuanya.” Luna masuk dengan senyumnya yang khas. “Sorry banget nih, dosen pembimbing gue tiba-tiba merubah jadwal bimbingan, jadi…” Giliran Luna yang tidak menyelesaikan kalimatnya. Matanya tertumbuk ke papan tulis yang berisi nama relawan yang akan berangkat ke Padang dua hari dari sekarang. Dia menemukan nama Raditya, tapi tak ada namanya. Sejenak matanya beralih menatap Raditya yang sedang melihatnya dengan ekspresi minta maaf.
“Na, begini…” Raditya mengambil napas, berusaha mencari alasan yang tepat agar tidak menyakiti hati wanita yang dicintainya itu. “Kamu sedang dalam tahap penyelesaian skripsi dan harus selesai sebelum Januari akhir. Sedangkan penelitian kamu juga belum selesai. Keberangkatan ke Padang akan mengganggu proses itu, karena kita tak pernah tahu berapa lama kita akan berada di lokasi. Akhirnya kami memutuskan untuk tidak memasukkan namamu dalam daftar relawan yang akan berangkat ke lokasi.”
Luna duduk di kursi yang tersisa untuknya dan meletakkan tas di atas meja. Ekspresinya tak terbaca.


“Apa ini berarti kita akan menunda pernikahan sekali lagi Dit?”
“Sayangnya, ia.” Merasa bersalah, Raditya tak mampu menatap Luna.
Mereka berdua diam, larut dalam pikiran masing-masing. Luna merasa ruangan semakin sesak dan sempit. Kenyataan bahwa mereka akan berpisah tak membuatnya merasa nyaman. Sudah dua kali mereka mengulur-ulur waktu pernikahan. Dan penyebabnya lagi-lagi karena tugas sosial yang menuntut mereka untuk berperan di dalamnya. Dulu, hal itu tak terlalu bermasalah bagi Luna, karena ia selalu bersama-sama dengan Raditya berangkat ke lokasi atau sama-sama tinggal di Jakarta untuk menggalang dana. Tapi kali ini, Raditya akan berangkat sendiri sementara dirinya bergelut dengan skripsi yang harus selesai bulan Desember agar bisa ikut sidang awal Januari dan wisuda tanggal 20 Januari.
“Tak akan lama Na.” Raditya mencoba memecah kebekuan di antara mereka.
“Kau yang mangatakan bahwa waktunya tak dapat ditentukan. Jangan coba untuk membohongiku.”
“Tapi aku sudah menjelaskan alasannya Na, dan itu masuk akal. Bukankah kemarin kamu setuju?” Raditya menatap wajah Luna, mencoba mencari tanda.
Luna berdiri dan berjalan menuju jendela. Lama ia menatap kembang yang sedang mekar di halaman kantor LSM. Raditya mengikuti dengan matanya. Memprediksi jawaban apa yang akan Luna ucapkan.
Luna berbalik dan menarik napas. “Kita menikah seperti rencana semula atau aku ikut ke Padang.”
“Tapi”, Raditya mencoba mencari alasan, “itu nggak mungkin Na. Mustahil kita bisa mempersiapkan pernikahan dalam jangka waktu sebulan sementara aku harus berada di Padang.”
“Lalu, apa mustahil juga untuk mengajakku ikut serta?” Luna menjawab, ekspresinya mengeras.
“Bukan…” Kalimatnya terpotong
“Jangan membuatku merasa marah dengan alasan-alasanmu Dit. Skripsiku bisa menunggu. Kau punya dua pilihan, jangan berharap yang ketiga. Karena akan lebih sulit bagi kita.”
“Na, mengertilah. Aku tidak ingin melihat kau gagal wisuda Januari nanti. Aku akan merasa sangat bersalah…”
“Tentukan pilihanmu”, Luna menyela dan bersamaan dengan itu ia berjalan ke luar ruangan.
“Kau mempersulitku, Na.” Keluh Radit.


Bantuan akan dikirim lewat darat. Sepuluh mobil Fuso. Berisi makanan siap saji, pakaian dan obat-obatan. Semua anggota LSM berjejer di halaman melepas keberangkatan truk-truk pengangkut bantuan itu
“Kalau begitu sekarang giliran kita.” Alan beranjak dari tempatnya dan mulai menyalami anggota yang tinggal satu persatu. “Jangan biarkan burung besi raksasa itu menunggu kita terlalu lama kawan.”
“Tak akan, Lan.” Dewi Menyahuti kelakar Alan.
Setelah semua relawan bersalaman satu persatu mereka menaiki bus yang disewa untuk mengantar ke Bandara. Andre mendekati Raditya, “kau harus bersabar Dit. Jangan hadapi dia dengan emosi,” Andre bicara sambil melirik Luna yang sedang menaiki bus, “dia hanya sangat mencintaimu dan khawatir akan terjadi sesuatu padamu.”
“Aku bukan pergi untuk berperang An, aku hanya ingin dia lulus sesuai rencana. Tapi yah, tak ada yang mampu mencegahnya, bukan?” Raditya tersenyum getir dan memeluk sahabatnya sebelum beranjak ke bus.
Tak lama berselang, bus perlahan meninggalkan kantor LSM yang ada di Matraman itu. Semua penumpangnya terlihat antusias. Raditya mengambil posisi di sebelah Luna.


“Terlalu banyak yang harus kita kerjakan, sementara tenaga relawan tidak mencukupi.” Raditya membuka briefing. Hari itu genap seminggu mereka berada di Pariaman. Kemana mata memandang, yang telihat hanyalah puing-puing bangunan dan para korban gempa masih menangisi nasib mereka. Dibeberapa titik terlihat tenda-tenda darurat yang didirikan untuk menampung korban gempa. Seluruh anggota tim LSM ditempatkan di dua tenda, satu untuk laki-laki dan satu lagi untuk perempuan.
“Kita harus memberdayakan masyarakat untuk mengevakuasi korban yang tertimbun dalam reruntuhan bangunan itu.” Zaky mengusulkan. “Agar mereka tidak terlalu lama larut dalam kesedihan.”
“Tapi kita tak bisa memaksa mereka. Trauma yang dalam dan kehilangan keluarga serta harta benda cukup membuat mereka down. Kita boleh saja meminta mereka untuk membantu, namun dengan cara yang halus.” Luna menambahkan.
“Oke, besok kita akan buka pos untuk menjaring tenaga relawan. Dan berita untuk malam ini”, Radit berhenti mengambil napas, “besok pagi bantuan tahap 2 akan sampai di sini. Kepada yang bertugas mendistribusikan bantuan mohon bersiap.” Radit menutup pertemuan dengan mengucapkan selamat malam.


“Beristirahatlah yang cukup, Na.” Raditya menghampiri Luna yang masih duduk menyelesaikan data-data korban yang mereka temukan hari itu. “Jangan sampai kecapaian.”
“Nanggung Dit.” Luna menjawab sambil menoleh kepada Raditya yang sudah duduk di sebelahnya, tapi tangannya tetap menari di atas keyboard laptop.
“Jangan memaksakan diri, Na.”
“Dit?” Terdengar suara memanggil.
“Aku tinggal Na, jangan lupa tidur sebelum jam 10, oke?” Pesan Raditya sambil berdiri.
“Hmm.” Gumam Luna
Di luar tenda, Raditya menemukan Ade sedang berdiri memandang reruntuhan yang telah mereka gali siang tadi. Ade lah yang tadi memanggilnya.
“Kenapa De?” Radit menepuk bahu temannya.
“Lu ingat waktu kita membantu evakuasi korban dari gedung SMP 11 dua hari yang lalu?” Ade bertanya tapi matanya tak beralih dari objek pandangnya semula.
“Iya.” Radit menjangkau gelas berisi kopi di atas nampan di sebelahnya.
“Ada seorang gadis yang nanyain lu. Sepertinya dia juga korban gempa.” Ade ikutan mengambil kopi.
“Geu?” Radit menoleh, tangannya yang memegang gelas kopi berhenti di udara. “De, gue emang orang Sumatera Barat, tapi bukan berarti gue kenal orang se-Provinsi. Gue berasal dari Bukittinggi, jadi mustahil gue kenal orang Pariaman.”
Ade mengangkat bahu, ekpresinya menunjukkan ketidaktahuan. “Mungkin dia teman lu waktu sekolah dulu.” Tambah Ade.
Alis Raditya terangkat pertanda dia sedang berpikir. “Seingat gue”, Radit berusaha keras mengingat, gue nggak pernah punya teman seorang perempuan yang berasal dari Pariaman. Tapi kita lihat nanti, siapa tahu besok ketemu.”
“Luna belum tidur Dit?” Ade mengalihkan pembicaraan.
“Tak akan, sebelum pekerjaannya selesai”, Raditya terlihat menyesal, “gue khawatir dia jatuh sakit. Tapi keras kepalanya tak bisa hilang sejak dulu.”
“Ciri-ciri orang punya kemauan kuat dan ciri-ciri orang berhasil, eh?” Ade tertawa melihat ekspresi temannya yang berubah-ubah setiap kali topik pembicaraan berubah.


“Assalamu’alaikum.” Suara wanita itu tak asing.
“Wa’alaikum Salam.” Raditya mengangkat kepala dan menemukan seseorang dari masa lalunya berdiri di depannya.
“Apa kabar Kak?” Wanita itu tersenyum.
“Iya…eh, sehat Alhamdulillah.” Raditya berdiri dan meninggalkan pekerjaannya mengenali korban dibantu penduduk setempat.
Mereka berdua berjalan ke tempat yang lebih terbuka. Kemudian Raditya mengajaknya ke tenda relawan LSM.
“Bukannya kau sedang kuliah di IAIN?” Raditya mencoba mencairkan suasana. Bertemu dengan orang yang pernah dicintainya ketika SMA dulu di lokasi seperti ini tak pernah disangkanya. Raditya baru bisa melupakan Dina sejak ia bertemu Luna 2 tahun lalu. Ketika itu Raditya baru kembali dari Padang membawa kekecewaan karena Dina mencintai laki-laki lain.
“Ia kak. Tapi sejak seminggu lalu, aku ikut bantu-bantu di sini. Bergabung dengan regu pecinta alam kampus.” Dina mencoba menghilangkan bayangan masa lalu yang membuatnya terus merasa bersalah.
Tidak lama, muncul Luna membawa berkas-berkas laporan yang baru saja selesai dikerjakan. Langkahnya terhenti ketika melihat ada tamu bersama Raditya.
Raditya menoleh, “Na, sini.” Raditya melambaikan tangan pada Luna. “Kenalkan adik kelasku waktu di SMA dulu.”
Luna mendekat dan mengulurkan tangannya sambil berkata, “Luna.”
“Dina.” Si tamu menyahut.
“Dina ini juga ikutan jadi relawan dari IAIN, Na. Ternyata mereka juga sudah seminggu ada di sini. Kalau mau nanti kita bisa bekerja sama sehingga tugas-tugas kita di sini jadi lebih ringan.” Raditya terlihat antusias.
“Boleh.” Sahut Luna pendek, tapi Luna melihat sesuatu yang lain dalam senyum tamu itu. Entah apa itu.


Berdasarkan rencana yang disusun oleh tim relawan LSM, waktu buat mereka tinggal di lokasi cuma 3 hari lagi. Mereka telah berada di lokasi selama satu setengah bulan. Telah banyak pekerjaan yang mereka selesaikan dan semua bantuan telah disalurkan. Waktu tuga hari adalah untuk menyelesaikan pekerjaan yang masih tersisa.
Kerjasama dengan tim mapala IAIN membuat tugas masing-masing menjadi lebih gampang dan hasil yang diperoleh cukup maksimal. Tapi satu hal yang mengganggu Luna sejak kerjasama mereka disepakati, keberadaan Dina. Dari hari kehari Luna memperhatikan sikap Dina terhadap Raditya bukan sekedar teman lama. Akhirnya ia menyimpulkan bahwa ada sesuatu di balik semua. Da itu meresahkannya.
Luna telah mengenal semua anggota tim mapala IAIN sehingga ia cukup tahu teman-teman terdekat Dina. Bahkan ia mengenal salah satu dari mereka adalah teman Dina semasa SMA dulu.
Suatu sore, Luna duduk di depan tenda bersama beberapa relawan lainnya, baik dari tim LSM ataupun dari mapala IAIN. Ia duduk bersisian dengan Santi, teman Dina ketika SMA dulu. Dengan tidak ketara ia mencoba menggali informasi tentang masa lalu Dina. Informasi yang diperolehnya tak membuatnya tenang.
Selang beberapa jam, Raditya muncul bersama Dina. Mereka kelihatannya baru kembali dari tenda pengungsi. Wajah Luna memerah, amarahnya mendidih. Tak pernah sekesal itu ia melihat Dina dan Raditya berdua. Tanpa menoleh, Luna masuk ke dalam tenda tepat ketika Raditya dan Dina sampai di depan tenda dan bergabung dengan mereka. Menyadari keanehan Luna, Raditya langsung menyusul ke dalam tenda. Giliran Dina yang berdiri mematung menyaksikan Raditya begitu peduli pada Luna.
Dina sudah tahu sejak hari kedua mereka bekerjasama bahwa Luna adalah calon istri Raditya dan mereka akan menikah segera setelah kembali ke Jakarta. Entah kenapa sebagian dari dirinya memberontak ketika mendengar berita itu. Apa mungkin ia masih mencintai Raditya? Laki-laki yang pernah disakitinya. Hingga hari ini, tak terlihat kalau Raditya membencinya. Tapi itu bukan berarti Raditya masih mencintaimu, pikirnya.
“Na, ada yang terjadi?” Raditya bertanya. Suaranya menggambarkan kekhawatiran.
“Tak ada yang istimewa.” Luna berkonsentrasi pada laporan terakhirnya. Laporan ini akan diserahkan kepada para donator begitu sampai di Jakarta.
“Tak biasanya kau menyembunyikan masalah Na.” Raditya mencoba memancing.
“Lapopran ini membuatku pusing.” Luna berkata tanpa ekspresi.
“Jangan mengalihkan pembicaraan Na.” Raditya meraih bahu Luna dan membalikkan tubuhnya sehingga ia bisa menatap ke dalam mata wanita yang telah mengisi hari-harinya selama dua tahun belakangan.
Luna menatap laki-laki di depannya, tapi ia seolah menemukan orang lain yang berdiri di situ, bukan Raditya. “Apa begitu sulit?” Luna menundukkan kepalanya menahan airmata agar tak mengalahkan pertahanannya.
“Ya.”
“Dia…maksudku…”
Raditya menunggu.
“Dina…” Kali ini Luna tak mampu bertahan.
“Kenapa?” Ada apa dengan Dina?”
“Apa begitu sulit melupakannya?” Luna duduk memeluk lututnya. Terlihat jelas ia sedang berjuang melawan perasaannya yang berkecamuk.
Raditya duduk di depannya. “Dina adalah masa lalu Na. Kamulah yang ada dihatiku sekarang. Dan kamulah masa depanku. Perasaanku untuknya sudah ku kubur seiring perjalananku meninggalkan Padang 4 tahun lalu. Jangan biarkan kehadirannya yang sesaat merusak masa depan kita Na. Tahun depan kita akan menikah dan semuanya akan jelas, bukan. Aku tak akan senang bila istriku meragukan kesetiaan dan cinta yang ku bangun.”
Luna mengangkat wajahnya dan menatap mata Raditya, mencoba mencari kebohongan di sana. Tapi yang ia temukan hanyalah kejujuran dan ungkapan kasih yang dalam. Ia merasakan dirinya mulai tenang.


“Bisa bicara sebentar Din?” Luna bertanya dengan hati-hati. Malam itu mereka sedang menggelar ritual perpisahan sederhana. Berhubung 2 hari lagi tim relawan LSM akan kembali ke Jakarta.
“Boleh.” Dina terlihat enggan. Sejak mengetahui fakta bahwa Luna adalah calon istri Raditya, Dina terkesan menjaga jarak. Walaupun ia tak punya alasan untuk itu.
“Dua hari lagi kami akan pulang ke Jakarta. Semuanya akan kembali seperti semula, sebelum kita datang ke sini. Kau pun tentunya akan kembali kuliah bukan?” Luna membuka pembicaraan.
Dina merasa Luna tak akan berbasa-basi membahas kebersamaan mereka di sini dan rencana apa yang akan mereka jalankan setelah kembali ke kediaman masing-masing.
“Ya.” Sahut Dina pendek. Dia merasa tidak nyaman berada di samping Luna. Hatinya masih tidak rela menerima kenyataan bahwa Raditya akan menikahi wanita yang kini duduk di sebelahnya. Dulu, 4 tahun yang lalu, mimpi itu adalah miliknya. Rasa cemburunya makin jadi ketika menyadari bahwa Luna tidsak hanya cantik, tetapi selalu bisa menghidupkan suasana dimana pun ia berada. Tak peduli apakah mereka baru saja bertemu. Luna orang yang mudah bergaul dan semua orang menyukainya. Dina merasa dadanya kian sesak.
“Bagaimana kuliahmu? Aku dengar kau sedang mengerjakan tugas akhir. Permasalahan apa yang kau angkat?” Luna mencoba menetralisir suasana.
“Aku membahas tentang kebiasaan sekelompok masyarakat yang terbiasa nongkrong di warung. Mereka mengatakan bahwa di sana juga ada pendidikan. Hingga saat ini aku belum menemukan pelajaran apa yang akan kita dapatkan dengan duduk menghabiskan waktu di warung-warung itu.” Dina berjengit, dia tak menyangka akan bicara panjang lebar seperti itu di hadapan Luna.
“Di sana mereka mengkritisi politikus dan pemimpin negeri ini yang tidak bisa menyelesaikan kusut negara kita.” Luna mencoba berpendapat. Ia menoleh dan melihat Dina mencoba mencerna kata-katanya. “Mereka”, Luna melanjutkan ketika ia melihat Dina menuggu kata berikutnya, “mendiskusikan hasil panen yang menurun drastis dan mencoba mencari solusi. Terkadang mereka juga saling berbagi tentang kemelut yang dialami dalam hidup masing-masing, setidaknya itu mengurangi beban. Dan kalau bisa, satu sama lain akan saling men-suport.”
Setelah merasa bahwa kebekuan di antara mereka mencair, Luna memutuskan inilah saat yang tepat untuk membicarakan masalah mereka berdua –bukan, bertiga. “Hmm”, Luna mencoba mencari kekuatan, “sudah berapa lama kau mengenal Raditya?”
Dug, Dina keget dan menatap Luna tanpa bisa mencegah dirinya. Ini dia, batin Luna. Apalagi yang akan dia bicarakan padaku kalau bukan berkaitan dengan Raditya.
“Sejak kami bersekolah di SMA 1 Bukittinggi, 7 tahun yang lalu. Dia kakak kelasku.” Dina kembali menunduk. Ia melihat Luna dengan sudut matanya.
“Oh, tentunya kalian sangat dekat.” Luna mencoba memancing.
“Hmm.”
“Apa kau masih mencintainya?” Dari suaranya jelas sekali Luna sedang menahan gejolak cemburu yang satu bulan terakhir menguasainya.
“K-kenapa kau bertanya begitu?” Dina mencoba menyembunyikan perasaannya. Berusaha agar tak terbaca dari sikapnya.
“Jauhi dia.”
“Maksud...mu?”
“Kita sama-sama gadis Minang, Din. Dan aku juga dibesarkan di ranah ini. Baru 6 tahun aku tinggal di Jakarta. Jadi feeling-ku sebagai wanita Minang belum dan tak akan pernah hilang.” Luna berhenti agar efek dari kata-katanya bisa diterima Dina dengan baik.
Dina terperanjat.
“Oh...” Dina mencoba mencari kata-kata. Selama ini dia berpikir bahwa gadis yang sesempurna Luna adalah gadis metropolitan. Tak terlihat gurat wajah Minang di wajahnya, pikir Dina. Logatnya Padang-nya pun sudah tidak terdengar.
“Aku tahu, bahwa posisi kita saat ini merupakan sebuah dilema. Tapi aku mohon, Din, jauhi Raditya. Kita sama-sama mencintai Raditya, tapi kita berbeda. Kau adalah masa lalu Radit, sedangkan aku adalah masa depannya.” Luna merasa sangat kejam karena harus berkata seperti itu kepada mantan pacar Raditya. Tapi dia harus menegaskan ini. “Tahun depan kami akan menikah. Bukankah dulu kau yang menyakitinya?”
Dina tak mampu berkata. Apa hak-nya menyuruhku melupakan Raditya? Batinnya berontak. Tentu saja dia punya, kata sesuatu yang lain di sudut pikirannya, dia adalah pacarnya dan calon istrinya. Menyadari kebenaran yang begitu menyesakkan, Dina kian tertunduk.
“Aku tahu ini akan sulit Din, tapi berusahalah. Lusa kami akan berangkat dan kau akan kembali melupakannya. Jangan membuat kita saling menyakiti, karena aku tak menginginkannya.”
Apa yang dia tahu tentang perasaanku terhadap Raditya? Dina membatin. Aku mengingat Raditya setiap hari selama 7 tahun perpisahan kami. Walaupun akulah penyebab perpisahan itu. Tadinya aku berharap ada kesempatan kedua. Ternyata Raditya tak mencintaiku sedalam itu. Matanya menganak sungai. Dina bersyukur mereka ada di tempat yang terlindung dari cahaya lampu sehingga Luna tak bisa melihatnya menangis.
“Luna...” Raditya memanggil dari kejauhan. Kemungkinan dia tidak melihat Luna bersama Dina.
Dina merasakan ada nada kekhawatiran dalam suara Raditya. Apa dia memang begitu mencintai Luna? Sehingga ketiadaan Luna di sisinya, walau sebentar saja, membuatnya resah. Hatinya kian tersayat. Tak seharusnya begini, pikirnya. Raditya tak pernah sepeduli itu padanya.
“Maaf, Din, aku harus kembali ke tenda. Mohon kau mau bekerjasama.” Luna bangkit dan berjalan menuju tenda. Ia tak menoleh lagi. Hatinya sudah lega karena beban yang selama ini menghimpitnya sudah terangkat.


“Na?” Ada nada panik dalam suara Alan.
Luna segera muncul di pintu tenda. Ini masih pagi sangat pagi. “Ada apa, Lan?” Luna mencoba menangkap kesan dibalik sikap Alan yang tidak biasa.
“Ikut aku, sekarang.” Perintahnya.
Luna segera berjalan di belakang Alan, ada apa, kenapa, mau kemana...berbagai pertanyaan memenuhi otaknya. Tapi tak satupun yang tersampaikan karena ia tahu Alan tak akan menjawab dan pertanyaannya akan hilang begitu saja terbawa angin.
Luna semakin bingung, Alan membawanya ke reruntuhan bangunan yang beberapa hari yang lalu mereka datangi. Tapi Luna melihat ada yang lain di sana. Bangunan yang kemaren berdiri dengan posisi condong sekarang telah roboh tak menyisakan ruang sedikitpun. Beberapa relawan terlihat sibuk membongkar puing-puing bangunan dan sebagian yang lain hilir mudik membawa..., “Oh”, kata Luna. Pasti ada korban lagi, pikirnya.
“Telat.” Alan berkata, lebih kepada dirinya sendiri. “Ayo Na, kembali ke tenda.”
Belum terjawab maksud Alan membawanya ke lokasi reruntuhan, sekarang ia kembali dibingungkan dengan sikap Alan yang semakin misterius.
Dari jauh Luna melihat tenda mereka penuh sesak. Sungguh berbeda dari 10 menit yang lalu ketika ia meninggalkan tenda untuk mengikuti Alan. Ia melirik Alan dan mendapatkan Alan jadi pucat.
“Ayo.” Alan mendahului berjalan ke tenda.
Di dalam tenda beberapa anggota tim tampak terpukul. Mereka mengelilingi sesosok tunuh yang terbujur tak bernyawa di tengah tenda. Jantung Luna langsung berpacu mengenali sosok yang ia cintai tergeletak di sana. Pandangannya kabur, lututnya goyah tapi ia menguatkan diri dan menghambur ke tubuh Raditya yang telah membeku. Ia mulai mengangis. Di belakangnya terdengar suara-suara mencoba menenangkannya.


Ciputat, 15 November 2009

Biografi Tokoh Sastra Indonesia (Hamka)

HAMKA (1908-1981), adalah akronim dari nama Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah. Beliau adalah seorang ulama, aktivis politik dan penulis Indonesia yang amat terkenal di Nusantara. Beliau lahir pada 17 Februari 1908 di kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat, Indonesia. Ayahnya adalah Syeikh Abdul Karim bin Amrullah atau dikenali sebagai Haji Rasul, seorang pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau, sekembalinya dari Makkah pada tahun 1906.

HAMKA mendapat pendidikan rendah di Sekolah Dasar Maninjau hingga kelas Dua. Ketika usia HAMKA mencapai 10 tahun, ayahnya telah mendirikan Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Di situ HAMKA telah mempelajari agama dan mendalami bahasa Arab. HAMKA juga pernah mengikuti pengajaran agama di surau dan masjid yang diberikan ulama terkenal seperti Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, Sutan Mansur, R.M. Surjoparonto dan Ki Bagus Hadikusumo.

Perjalanan hidup HAMKA bermula sebagai guru agama pada tahun 1927 di Perkebunan Tebing Tinggi, Medan dan guru agama di Padang Panjang pada tahun 1929. HAMKA kemudian dilantik sebagai pensyarah di Universitas Islam, Jakarta dan Universitas Muhammadiyah, Padang Panjang dari tahun 1957 hingga tahun 1958. Setelah itu, beliau dilantik sebagai Rektor Perguruan Tinggi Islam, Jakarta dan Profesor Universitas Mustopo, Jakarta. Dari tahun 1951 hingga tahun 1960, beliau dilantik sebagai Pegawai Tinggi Agama oleh Menteri Agama Indonesia, tetapi meletakkan jabatan karena Sukarno memberi pilihan menjadi pegawai kerajaan atau bergiat dalam politik Majlis Syura Muslim Indonesia (Masyumi).

HAMKA lebih banyak belajar sendiri (otodidak) dan mempelajari berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, beliau dapat mempelajari karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-?Aqqad, Mustafa al-Manfaluti dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, beliau mempelajari karya sarjana Perancis, Inggeris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Freud, Toynbee, Jean Sartre, Karl Marx dan Pierre Loti. HAMKA juga rajin membaca dan bertukar fikiran dengan tokoh-tokoh terkenal Jakarta seperti HOS Chokroaminoto, Raden Mas Surjoparonoto, Haji Fakrudin, Ar Sutan Mansur dan Ki Bagus Hadikusumo sambil mengasah bakatnya sehingga menjadi seorang pemidato yang handal.

HAMKA juga aktif dalam gerakan Islam dalam tubuh organisasi Muhammadiyah. Beliau aktif dalam organisasi itu mulai tahun 1925 dengan menentang khurafat, bidaah, tarekat dan kebatinan sesat di Padang Panjang. Mulai tahun 1928, beliau mengetuai cabang Muhammadiyah di Padang Panjang. Pada tahun 1929, HAMKA mendirikan pusat latihan pendakwah Muhammadiyah dan dua tahun kemudian beliau menjadi konsul Muhammadiyah di Makasar. Kemudian beliau terpilih menjadi ketua Majlis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat oleh Konferensi Muhammadiyah, menggantikan S. Y. Sutan Mangkuto pada tahun 1946. Beliau menyusun kembali pembangunan dalam Kongres Muhammadiyah ke-31 di Jogjakarta pada tahun 1950. Pada tahun 1953, HAMKA dipilih sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiyah. Pada 26 Julai 1957, Menteri Agama Indonesia yaitu Mukti Ali melantik HAMKA sebagai ketua umum Majlis Ulama Indonesia tetapi kemudian beliau meletakkan jabatan pada tahun 1981 karena nasihatnya diacuhkan oleh kerajaan Indonesia.

Kegiatan politik HAMKA bermula pada tahun 1925 saat menjadi anggota parti politik Sarikat Islam. Pada tahun 1945, beliau membantu menentang maraknya kembali penjajah Belanda ke Indonesia melalui pidato dan menyertai kegiatan gerilya di dalam hutan di Medan. Pada tahun 1947, HAMKA dilantik sebagai ketua Barisan Pertahanan Nasional, Indonesia. Beliau menjadi anggota Konstituante Masyumi dan menjadi pemidato utama dalam Pemilihan Umum 1955. Masyumi kemudian diharamkan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1960. Dari tahun 1964 hingga tahun1966, HAMKA telah dipenjarakan oleh Presiden Sukarno karena dituduh pro-Malaysia. Semasa di penjara beliau menulis Tafsir al-Azhar yang merupakan karya ilmiah terbesarnya. Setelah keluar dari penjara, HAMKA dilantik sebagai ahli Badan Musyawarah Kebajikan Nasional, Indonesia, anggota Majlis Perjalanan Haji Indonesia dan anggota Lembaga Kebudayaan Nasional, Indonesia.

Selain aktif dalam bidang keagamaan dan politik, HAMKA merupakan seorang wartawan, penulis, editor dan penerbit. Sejak tahun 1920-an lagi, HAMKA menjadi wartawan beberapa surat kabar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, beliau menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, beliau menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makasar. HAMKA juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat dan Gema Islam.

HAMKA juga menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya kreatif seperti novel dan cerpen. Karya ilmiah terbesarnya ialah Tafsir al-Azhar (5 jilid) dan antara novel-novelnya yang mendapat perhatian umum dan menjadi buku teks sastra di Malaysia dan Singapura termasuklah Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Kaabah dan Merantau ke Deli.

HAMKA pernah menerima beberapa anugerah pada peringkat nasional dan antarabangsa seperti anugerah kehormatan Doktor Honoris Causa, Universitas al-Azhar, 1958; Doktor Honoris Causa, Universitas Kebangsaan Malaysia, 1974; dan gelaran Datuk Indono dan Pengeran Wiroguno dari kerajaan Indonesia.

HAMKA telah pulang ke rahmatullah pada 24 Julai 1981, namun jasa dan pengaruhnya masih terasa hingga kini dalam memajukan agama Islam. Beliau bukan saja diterima sebagai seorang tokoh ulama dan sastrawan di negara kelahirannya, tetapi di seluruh Nusantara, termasuk Malaysia dan Singapura.

Minggu, 13 Desember 2009

Puisi Tokoh (Hamka)

Kepada Saudaraku M. Natsir


Meskipun bersilang keris di leher
Berkilat pedang di hadapan matamu
Namun yang benar kau sebut juga benar

Cita Muhammad biarlah lahir
Bongkar apinya sampai bertemu
Hidangkan di atas persada nusa
Jibril berdiri sebelah kananmu
Mikail berdiri sebelah kiri
Lindungan Ilahi memberimu tenaga

Suka dan duka kita hadapi
Suaramu wahai Natsir, suara kaum - mu
Kemana lagi, Natsir kemana kita lagi
Ini berjuta kawan sepaham
Hidup dan mati bersama -sama
Untuk menuntut Ridha Ilahi
Dan aku pun masukkan
Dalam daftarmu …….!

13 November 1957

Puisi Tokoh (Jalaluddin ar-Rumi)

Cinta Maha Dahsyat


Kerana cinta duri menjadi mawar
Kerana cinta cuka menjelma anggur segar
Kerana cinta pentungan menjadi mahkota penawar
Kerana cinta kemalangan menjadi keberuntungan
Kerana cinta rumah penjara nampak bagaikan kedai mawar
Kerana cinta timbunan debu kelihatan sebagai taman
Kerana cinta api berkobar menjadi cahaya menyenangkan
Kerana cinta Saytan berubah menjadi bidadari
Kerana cinta batu keras menjadi lembut bagaikan mentega
Kerana cinta duka menjadi riang gembira
Kerana cinta hantu berubah menjadi malaikat
Kerana cinta singa tidak menakutkan bagaikan tikus
Kerana cinta sakit menjadi sihat
Kerana cinta amarah berubah menjadi keramah-tamahan


Cinta Sejati

Apa yang mesti kulakukan o Muslim? Kerana aku tak mengenal diriku.
Aku bukan Kristian, Yahudi, Majusi dan bukan pula Muslim.
Aku tak berasal dari Timur atau Barat, tidak dari darat atau lautan.
Aku tidak dari alam, atau angkasa biru yang berputar-putar.
Aku tidak dari tanah, air, udara atau api.
Tidak dari bintang zuhra atau debu, tidak dari kewujudan dan wujud.
Aku tidak berasal dari India, China, Bulgar atau Saqsin.
Tidak dari kerajaan Iraq atau Khurasan.
Aku tidak berasal dari dunia ini, tidak dari alam akhirat,
Tidak pula dari syurga atau neraka;
Tidak daripada Adam dan Hawa, atau Taman Eden dan Malaikat Ridwan
Tempatku tidak bertempat, jejakku tidak berjejak.
Aku bukan milik tubuh dan jiwa, aku milik jiwa Kekasih.
Kubuang dualitas, kupandang dua alam satu semata;
Satu sahaja yang kucari, Satu yang kukenal, kulihat dan kuseru
Dialah Yang awal dan yang Akhir, Yang Zahir dan Yang Batin.

Sajak-Sajak David Krisna Alka (Episode-1)

Kabar


Selamat tinggal debar
Semoga kabar
Tak seperti ranjau meracau
di negeri nan risau

Bila besok pagi terdengar
Kicau burung garuda gemetar
Bisikkanlah padaku
Kan kuputar kepalanya menghadapmu


2008


Jakarta Lagi

Gemuruh petir tiada henti
Deru mesin tak letih
Malam aku pulang
Pagi aku pergi
Tajam nian mata gergaji
Mencari kaya menyiksa diri
Menjadi miskin mengecap buih

2008


Pergi

Sisa perang kampung kelam
Mengalir air mata kurcaci

Baju loreng muka arang
Membasahi darah ibu pertiwi

Di atas marmer hitam
Tertoreh nama kekasih


2008

Jumat, 11 Desember 2009

Di mana Hadirmu? (Puisi)

Hujan membuatku terjaga,

di tengah kebisuan malam
Anganku melayang,
Mencari sosok yang selalu hadir dalam pikiran
Namun tak ku temui dimana ia?

Ku terus mencari,
Hingga ku tersesat tak bisa kembali
Hitam putih tak ada beda
Menelan semua waktu yang ada

Yang ku mau hanya satu
Tetes air hujan yang jatuh dari langit
Tumbuhkan kehidupan di muka bumi

Oleh: MayRane (11 Des 2009)

Kamis, 10 Desember 2009

Rasa Cinta (Puisi)

Saat rasa mulai berlabuh
Membuka pintu di langit biru
Dendangkan irama semilir angin
Ajari ruang tentang rindu
Ajari hati mimpi di suatu masa
Melukis syair cinta di awan putih
Memulas senyum manja di samar kabut
Rasa itu,
Nikmatilah


Oleh: Penyair Cinta
November 2007

Senin, 07 Desember 2009

Hati yang Lain (Cerpen)

Oleh : Maharani

Suara riuh rendah para pendukung masing-masing kandidat ketua umum pusat organisasi Pemuda Indonesia terdengar memenuhi aula. Persaingan yang ketat membuat suasana semakin panas. Masing-masing kandidat merasa mereka yang pantas untuk menjalankan roda organisasi dua tahun ke depan.


Saat ini adalah tahapan pemaparan visi dan misi yang mereka usung untuk memenangkan jabatan yang bergengsi itu. Di sini, kebijakan para kandidat akan dipertanyakan. Dari jawaban-jawaban yang mereka berikan, dapat dilihat siapa calon pemimpin yang berkarakter, ambisius atau pemimpin yang berkepala dingin. Apapun nantinya yang dikedepankan oleh masing-masing kandidat tentu tidak akan mempengaruhi keputusan para pendukung. Tujuan utama mereka datang adalah untuk mendapatkan jabatan dan berbakti kepada ikatan selama dua tahun.


Tak lama setelah ini, bahkan mungkin sudah sedari awal, akan terlihat lobi-lobi politik yang cantik. Take and Give. Itu satu prinsip yang abadi dalam dunia politik. apa yang bisa kau berikan jika saya memberikan ini? Hal yang lumrah bukan? Maka yang menang nantinya adalah mereka yang mampu memainkan seni politiknya dengan cantik. Karena berskala nasional, maka konflik atau sentimen antar daerah pun cukup berpengaruh dalam menjaring suara.
“Bukan, yang itu lho”, Rina menunjuk seorang kandidat, “yang pake baju putih kotak-kotak.”
“Bukannya itu calon yang diusung DPD Jawa Timur? Ya, Jawa Timur.” Keyla meyakinkan diri sendiri.
“Ya.” Rina kembali focus ke depan. Ia memperhatikan dengan serius ketika si baju kotak-kotak menjawab pertanyaan peserta sidang dengan argument yang meyakinkan. Mengagumkan.
“Amazing.” Bisik Rina lebih pada dirinya sendiri.
“Hmm?” Keyla bertanya tanpa menoleh.
“Ng…nggak. Key, menurut kamu bagaimana kapasitas semua kandidat di depan?
“Yang jelas, mereka adalah yang terbaik dari daerahnya. Setidaknya begitu. Kita hanya bisa berharap bahwa intrik-intrik politik tidak begitu kental mewarnai pemilihan ini. Dan pemilihan mereka di daerahnya sebelum diusung sebagai calon ketua umum pusat.”
“Key?” Rina mengerutkan dahi meminta penjelasan lebih lanjut.
“Kita semua tahu bahwa acara dua tahunan ini menjadi ajang perebutan tampuk kepemimpinan”, Rina mengangkat kedua tangannya sambil membentuk tanda kutip di udara, jadi seharusnya kita mencari pemimpin yang capable, berkualitas, punya kepribadian dan bertanggungjawab.”
“Yah, kita hanya bisa berharap bukan?” Rina menimpali. “Tapi coba kita memandang persoalan ini dari sudut kita Key.”
“Ya?” Keyla menunggu.
“Kita contohkan pada diri kita sendiri. Sebagai delegasi dari DKI Jakarta kita menginginkan calon yang kita usung terpilih sebagai ketua umum pusat. Dan mungkin saja kita tahu bahwa ada calon dari daerah lain yang lebih capable. Tapi, dapat dipastikan bahwa kita tetap akan memperjuangkan calon yang kita usung. Lantas?” Rina mencoba mencari persetujuan di wajah Keyla, tapi tak terbaca.
“Memang begitu dan akan selalu begitu”, sesal Keyla, setiap daerah pasti menginginkan mereka memegang posisi strategis itu. Tidak ada yang mau berbesar hati untuk menyerahkan sebauh amanah kepada orang yang mampu begitu saja. Mungkin ada”, Keyla meralat sedikit ucapannya, tapi tidak akan bisa mengemuka karena kita tidak datang atas nama pribadi melainkan atas nama organisasi sehingga harus mengikuti keputusan yang telah disepakati bersama. Memberikan suara kepada pihak lain walaupun ia lebih baik, akan dianggap sebagai pengkhianatan.”
Rina tampak berpikir. Sementara Keyla kembali memperhatikan perdebatan yang kian seru di antara para kandidat dan delegasi.


“Peluang kita untuk menang sangat tipis.” Ketua umum DPD DKI Jakarta, Andi, berusaha menjelaskan posisi mereka kepada semua utusan dari DKI di dalam sebuah ruangan tertutup. Ruangan itu adalah kamar bagi peserta laki-laki dan kebetulan yang ditempatkan di sana semuanya berasal dari DKI sehingga kamar pun menjadi multi fungsi. Tidur, rapat, makan dan bersenda gurau melepas lelah.
Kamarnya diisi dengan dua ranjang besar. Satu ranjang bisa memuat sekitar 6 orang. Di beberapa tempat terlihat travel bag tergeletak dan isinya, menghambur keluar.
“Kita mempunyai saingan yang erat. Satu hal yang penting, kita sudah kalah langkah dan strategi. Delegasi dari Jawa Timur telah menggandeng beberapa DPD. Kalau kita tetap maju hanya dengan bantuan dua DPD lain dari Bali dan NTT, dipastikan kita akan kalah.”
Suasana begitu hening. Mereka semua menyadari bagaimana posisi mereka saat ini. Mengingat perjuangan yang telah mereka lakukan sejak beberapa bulan yang lalu sebelum kebarangkatan ke lokasi, maka hasil yang diperoleh sangat mengecewakan. Hanya karena kalah cepat. DPD lain yang tidak mengusung calon, tidak mau menawarkan diri untuk bekerjasama, tetapi mereka menunggu untuk diminta. Dengan begini mereka akan daya tawar.
“Jadi?” Keyla memecah kesunyian. “Kita akan berkoalisi mendukung calon lain dan menyimpan harapan besar kita? Kita masih punya waktu bila kita ingin menggalang suara lebih bannyak.” Rina melongo mendengar kata-kata Keyla. Baru tadi pagi ia berkata tentang idealisme, tapi sekarang nepotismenya muncul tak terbendung. Tapi, Rina mendengar suara di sudut lain pikirannya, Kak Ryan punya segalanya. Ya, tentu saja Keyla berpikir bahwa Kak Ryan pantas untuk posisi ini. Rina memahami.
“Kalaupun kita bergerak sekarang dan setiap orang dikerahkan untuk melobi setiap DPD, tetap saja kita sudah kalah langkah. Menurut informasi yang saya dapatkan, Jatim sudah menggandeng 15 DPD yang punya banyak masa. Pilihan yang aman untuk kita adalah mengalah dan berkoalisi dengan yang lain.”
“Mengapa kita tidak berkoalisi dengan Jawa Timur Kak?” Rina mengusulkan. “Bila kita membantu mereka…” kalimatnya terputus ketika ia melihat Keyla memandangnya tak percaya dan ekspresi yang lain tak berbeda. “Cuma usul.” Rina mengakhiri.
“Kita punya dua tawaran, pertama dari Aceh dan yang kedua dari Kalimantan Barat. Peluang untuk menang sama. Tapi kita akan memutuskan untuk bergabung dengan Aceh.” Andi berhenti, melihat efek kata-katanya. “Suara kita akan menentukan.”


“Kita kalah.” Kata-kata itu terasa menghujam jantung.
“Jangan menyalahkan diri sendiri Ndi, kita sudah berusaha.” Ryan mencoba menenangkan. Sikanya memang selalu bisa membuat orang lain nyaman berada di sisinya dan kata-katanya bisa menjadi penyejuk dalam kegundahan. “Sebuah pertarungan mengharuskan adanya pemenang. Bila hari ini kita tidak meraihnya, bisa jadi 2 tahun yang akan datang.”
“Yang saya tidak habis pikir, kenapa bisa suara kita berkurang satu?” Andi mencoba mencari jawaban. “Padahal kita sudah mewanti-wanti bahwa kemungkinan selisih suara hanya satu. Ini berarti ada di antara kita yang memberikan suaranya kepada yang lain. Bila kita berada di posisi kedua, setidaknya kita masih diperhitungkan. Tapi kita hanya berada di tempat ketiga.”
“Belum tentu yang berkhianat itu ada di antara kita Kak”, Keyla bicara dengan sedikit memaksa agar suaranya terdengar meyakinkan, bisa jadi kesalahan itu dilakukan oleh peserta koalisi yang lain.” Bersamaan dengan itu ia melirik Rina yang duduk tertunduk. Aku harap bukan kamu Na, batinnya.


“Key, ingat Kak Habil?”
Keyla terlihat berpikir, beberapa kerutan muncul di keningnya. “Ketua umum pusat? Kenapa Na?”
Rina tersenyum menggoda. Menantang Keyla menebak.
“Ya?” Hanya itu tanggapan Keyla.
“Dia, Kak Habil nge-sms aku, Key.” Rina mencoba meredam suaranya.
“Sms?”
“Iya, Key. Aku jadi tersanjung Key. Siapa yang akan menyangka seorang ketua umum pusat ternyata memperhatikan keberadaanku di munas kemaren.” Pandangannya melayang jauh. “Besok dia mengajakku makan malam keluar. Aku belum tahu akan diajak kemana. Tapi kemanapun, pastinya akan jadi malam yang indah karena ditemani Kak Habil.”
“Pertemuan yang keberapa Na?” Keyla meneruskan ketikannya.
“Maksudmu Key?” Rina bingung.
“Ini bukan pertemuan yang pertama sejak munas bulan lalu bukan? Itu juga bukan sms pertama dan jangan bilang dia belum pernah menelponmu. Kau boleh saja merahasiakan semuanya dariku Rin, tapi berhati-hatilah dengan hatimu. Jangan menyakiti diri sendiri dan jangan sakiti Kak Farhan.”
“Key, bagaimana mungkin kau berpikir begitu?” Rina kaget melihat sikap sahabatnya.
“Jujurlah Rin, kalian sudah sering bertemu bukan?” Keyla berbalik menghadapi sahabatnya.
“Ya, aku…kami bertemu hampir tiap minggu.” Rina tertunduk.
“Perasaan apa yang kau simpan untuknya Rin? Tak ada kekagetan dalam suara Keyla.
“Aku mengaguminya, itu saja.”
“Semoga Rin. Dan berhati-hatilah dengan perasaanmu.”
Kembali hening.


Keyla terbangun karena suara isak tangis yang cukup keras. Ia mengerjap-ngerjapkan mata. setelah matanya terbiasa dengan gelap, ia bangun dan mencari-cari asal suara. Suara tangis itu makin kencang. Ia bangkit dan menyalakan lampu di ruangan tempat ia dan Rina tidur. Tempat tinggal mereka adalah rumah petak dengan 3 ruangan plus kamar mandi. Di ruang depan ada dua lemari besar penuh buku. Ruangan ini jadi ruangan serba guna, mulai dari menerima tamu, belajar, atau sekedar duduk-duduk melepas lelah. Ruang kedua, dijadikan sebagai ruang tidur dan seperti ruang depan, juga jadi ruang serba guna. Sebuah televise ada di sudut ruangan. Ruang ketiga adalah dapur.
Berjalan ke ruang depan, Keyla mendapati Rina duduk di pojok. Ia terus menangis sementara berbicara dengan seseorang ditelpon. Keyla melangkah berniat mendekati dan mencoba memberi kekuatan, tapi sejenak kemudian ia mundur. Biarkan ia menyelesaikan dulu bicaranya, pikirnya. Keyla kembali ke kasurnya dan berbaring. Ia mencoba berpikir, mungkinkah Rina sedang ditelpon Kak Farhan? Tapi masalah apa? Keyla tak bisa memikirkan jawabannya. Lebih baik menunggu, pikirnya.
Keyla pasti jatuh tertidur. Ketika ia bangun, ia mendapati Rina tidur di sebelahnya. Ataukah semalam ia bermimpi mendengar suara tangisan?
Berusaha untuk tidak membuat suara, Keyla bangkit ke kamar mandi. Saatnya shalat subuh.


Pagi Minggu. Rina msaih tidur dengan pulas ketika Keyla berangkat jogging. Tak lama kemudian ia bangun dan duduk dengan lesu di kasur. Belakangan ini banyak sekali kejadian di luar kendalinya yang memporak porandakan konsentrasinya. Namun yang paling mengganggunya adalah sikapnya yang masih merahasiakan segalanya pada Keyla. Rasa saling percaya yang mereka bangun seharusnya sudah ia rusak. Akankah ia berani untuk mengungkapkan segalanya ketika sudah terlambat? Ketika keputusan yang diambilnya telah menyakiti banyak pihak. Mungkin juga menyakiti Keyla.
Bagaimana caranya untuk berterus terang, batinnya. Cukupkah satu kata maaf? Akankah Keyla memahaminya?
Sebuah sms masuk.
Rin, hari ini ada agenda? Mau ke Taman buah? Jam 8 di halte kampus, oke?
Tawaran yang menarik. Daripada harus berkutat dengan segala masalah lebih baik jalan-jalan untuk meregangkan otot dan merefreshkan otak. `
Ia mengetik sms dan mengirimnya. Delivered to Kak Habil. Sebuah sms lain untuk Keyla.
Key, aku pergi ke Taman buah sama teman.


“Tolong mengerti aku, Kak,” suara itu hilang dalam tangisan. “Demi Tuhan, aku nggak pernah meniatkan hal ini.”
Jeda.
“Iya, aku tahu ini salah, tapi tolonglah untuk memahami posisiku. Siapa yang bisa membohongi hatinya sendiri? Aku hanya mencoba untuk berkompromi dengan hatiku, tapi ternyata aku salah. Dan sekarang aku menyadari itu. Aku memang mencintainya –maksudku, pernah mencintainya.” Rina makin histeris. Tangisnya tak terbendung.
“Semudah itu kau mencintai seseorang ketika di hatimu juga ada laki-laki lain yang juga mencintaimu?” Farhan mendebat. “Sekarang coba kau lupakan dia secepat kau mencintainya. Kebohonganmu sungguh menyakitiku.”
“Aku tak pernah bermaksud, Kak.” Suaranya lebih mirip bisikan.
“Mengkhianati kepercayaanku?”
Keyla yang sedari tadi berdiri mematung di pintu merasakan suasana semakin tidak nyaman. Ia bingung menentukan sikap. Suara-suara yang tadi bertengkar di dalam ruangan kini tergantikan sepi yang hanya diselingi isak tangis Rina. Akhirnya Keyla memutar badan tepat saat pintu dibuka. Keget, Keyla tak tahu harus berkata apa.
“O.., hmm, Kak…sudah lama?” Hufh, Keyla mengehembuskan napas perlahan. Bukan pertanyaan yang membantu bagi Kak Farhan ketika suasana hatinya tak menentu. Tapi hanya itu yang terpikirkan oleh Keyla, setidaknya saat itu.
“Saya mau pulang Key, tolong jaga Rina.” Tampang Farhan kian lesu
“I…iya Kak, iya.” Rina jelas tak mengerti
Farhan meninggalkan ruangan dan Keyla segera menghambur ke dalam rumah dan mendapatkan Rina meringkuk di kasur. Tangisnya tak kunjung berhenti walau ia berjuang untuk itu. Beban seberat apa yang ia tanggung? Batin Keyla. Pasti ada hubungannya dengan Kak Farhan, pikirnya.
Keyla berpikir sebaiknya Rina dibiarkan dulu untuk menngeluarkan semua bebannya lewat tangisan. Setelah dia lega barulah bijak untuk mangajaknya bicara. Berpikir seperti itu, Keyla menuju dapur, mengambil minum dan duduk di pintu yang memisahkan ruang depan dan ruang tidur. Ia mengamati sembari menebak-nebak permasalahan apa yang mungkin dihadapi Rina. Tak biasanya ia sehisteris ini. Ia kelihatan sangat terpukul.
“Key,” Keyla terperanjat mendengar Rina memanggilnya. Pikirannya entah melayang kemana barusan.
“Ya Rin.” Sahutnya.
“Saya mau cerita dan saya harap kau mau memahami persoalan yang kini ku hadapi.”
“Iya, cerita saja Rin.”
Rina tak langsung bicara. Ia menundukkan kepala seakan-akan ia akan membuat pengakuan yang bisa menjadikannya terhukum. Ia mengangkat kepala dan menatap Keyla.
“Kau pasti akan marah Key.” Rina memulai, matanya kembali berkaca-kaca.
“Cerita Rin, aku nggak akan pernah tahu kalau kau tidak mau terbuka. Itu artinya aku tidak akan bisa menentukan sikap. Ceritakan, semoga aku bisa membantu.”
“Aku…”
“Ya.” Pancing Keyla
“Aku mencintai Kak Habil.”
“Mencintai…siapa?” Keyla duduk tegak. “Kau serius Rin?”
“Dia juga mencintaiku, kami saling mencintai dan kami juga sudah saling mengungkapkan perasaan masing-masing.”
“Rin…” Keyla tidak bisa menemukan kata-kata untuk menanggapinya.
“Aku mencintainya Key,” tangis Rina tak lagi terbendung, “apa salah kalau aku mencintai? Aku hanya mengungkapkan apa yang aku rasakan. Apa salah kalau aku…” tangisnya makin jadi.
Keyla bergeming. Ia berusaha mencerna fakta-fakta demi fakta yang kini ada di hadapannya.
“Apa salah Key?” Rina menggoyang tubuh Keyla.
“Aku tak pernah meminta agar perasaan ini datang, tapi aku tidak mampu untuk berpura-pura seakan-akan tidak ada yang terjadi. Tolong bicara Key.”
“Aku pikir hubungan kalian hanya sebatas teman. Sejak kapan kau mencintainya?” Keyla memandangnya lurus.
“Sejak hari pertama kita pulang dari munas. Kak Habil mengirimiku sms dan ia terus mencoba untuk menjalin komunikasi denganku. Setelah seminggu ia malah rutin menelponku setiap malam sebelum tidur. Akhirnya perasaan kagum yang aku rasakan ketika pertama kali bertemu dengannya di munas malah berubah menjadi cinta. Tapi apa itu salah Key?”
“Kau tidak mengaguminya, tapi kau mencintainya sejak kita di lokasi munas. Bukankah aku pernah mengingatkanmu untuk tidak bermain api Rin?” Tegas Keyla.
“Bantu aku Key. Aku tahu kalau aku salah, tapi sikap Kak Farhan sungguh tak membantu. Ia membenciku untuk kesalahanku kali ini. Dia tidak mau menerima kenyataan ini, Key.”
Keyla terdiam. Ia merenungi hari demi hari yang telah mereka lalui sejak berakhirnya munas di Kalimantan. Apa yang telah terjadi pikirnya. Apa cinta memang sedemikian rumit? Apa bisa hati yang sedang mencintai tertawan oleh cinta yang lain? Keyla memandangi Rina yang terlihat berjuang menahan perasaannya. Ada apa denganmu Rin, batin Keyla. Apakah ada sesuatu yang lain yang belum aku ketahui? Apa lagi yang kau sembunyikan dariku? Apa arti persahabatan kita selama ini bila masih ada rahasia?
“Rin.”
Rina mendongak dan menatap Keyla.
“Apa yang ingin kau lakukan sekarang?”
“Key?”
“Siapa yang akan kau pilih?” Keyla menjelaskan
“Ak...aku tak mungkin melakukan itu Key, aku tak bisa memutuskannya. Aku mencintai Kak Habil dan aku juga tidak tega menyakiti Kak Farhan.”
“Tidak tega?” Mata Keyla menyipit. “Apa itu berarti tak ada lagi cinta untuk Kak Farhan Rin? Apa semudah itu kau melupakan perasaanmu terhadap orang yang telah mengisi hatimu selama dua tahun? Orang yang telah mau mengorbankan apa saja untukmu.
“Tapi perasaanku pada Kak Farhan sudah tidak sepeti dulu Key. Hatiku tak lagi untuknya, tidak seluruhnya. Aku telah menempatkan Kak Habil di sisi lain hatiku dan dia merenggut semuanya. Tak lagi menyisakan tempat untuk yang lain, tak terkecuali Kak Farhan.”
“Kau sadar apa yang kau ucapkan Rin?” Keyla terbelalak mendengar jawaban Rina. Siapa yang bisa mendunga bahwa hati akan berubah secepat itu? Siapa yang pernah menduga bahwa cinta juga mampu berkhianat?
“Inilah yang aku rasakan Key.”
“Kau baru mengenal Habil tiga minggu. Pertemuan dan perkenalan sesingkat itu tak akan menceritakan semua tentang dia. Ini hanya perasaan sesaat Rin, lupakanlah Habil dan tata kembali hatimu. Minta maaflah pada Kak Farhan karena dia tak selayaknya kau sakiti seperti ini.”
“Key, kau tak tahu sejauh apa aku mengenal Kak Habil dan kau tak akan mengerti bagaimana perasaanku padanya, karena...”
“Ya, aku tak pernah tahu seberapa besar cintamu pada Habil dan aku tak akan mengerti posisimu saat ini karena hatiku tak pernah terbagi dan tak akan pernah aku mengizinkan itu terjadi.”
“Key!” Rina kaget mendengar suaranya. Tak pernah ia membentak Keyla sebelumnya dan tak pernah terlintas dalam pikirannya kalau ia akan melakukannya. “Key, aku sangat mencintainya.” Suaranya melemah.
“Tenangkan dirimu dan pikirkan dengan baik. Siapakah yang akan kau pilih. Bagaimanapun juga kau harus memilih. Aku tak akan menyalahkanmu tentang ini.” Wajah Keyla tak terbaca tetapi suaranya datar. Tak ada nada amarah tidak pula kecewa atau prihatin. “Jangan pernah mendustai hatimu dan jangan menyakiti lagi.” Keyla bangkit berganti pakaian dan mulai menekuni tugas kuliahnya yang menumpuk.


Ruang rapat penuh suara-suara yang terdengar gelisah. Entah apa yang sedang mereka bicarakan. Ketika Rina masuk dan bergabung, suara-suara itu spontan berhenti. Merasa ada yang aneh, Rina menncoba mencairkan suasana dengan menceritakan bahwa ia dipilih oleh pengurus pusat untuk ikut dalam sebuah LSO Pusat. Bukannya bersimpati, semua wajah terlihat saling bertanya-tanya dan seakan-akan berbicara satu sama lain lewat ekspresi yang bagi Rina tak terbaca.
Karena tak satupun yang menggubris perkataannya, Rina mencoba mengalihkan pembicaraan. “Dimana Keyla dan Kak Andi?”
“Andi masih dalam perjalanan pulang dari pertemuan pimpinan daerah se Jawa-Bali. Keyla sepertinya masih kuliah.” Gilang yang menjawab. Ia menjabat sebagai sekretaris umum di pimpinan daerah Jakarta. “Kalau tidak salah dengar, Kak Ryan mau datang hari ini. Kira-kira Keyla tahu nggak ya?”
“Kak Ryan? Bukannya masih menyelesaikan studinya di Kanada? Kenapa harus pulang secepat itu?” Rina mengekspresikan kebingungannya.
“Yah, pasti ada hal penting yang ingin ia lakukan di sini. Meninggalkan kuliah hanya untuk menemui Keyla, kedengarannya bukan seperti Kak Ryan. Dan Keyla akan sangat bila itu memang terjadi.” Kali ini David yang menanggapi.
Pembicaraan mereka semakin panjang dan semakin banyak topik yang dibicarakan. Mulai dari pengurus daerah yang kuliahnya masih terbengkalai sampai bakso mana yang menurut mereka paling enak di wilayah matraman itu.
Tepat saat azan ashar berkumandang, Andi datang membawa tas ransel yang semakin penuh dan besar. Pastinya ia membawa banyak oleh-oleh untuk anak-anak daerah. Bali bukanlah tempat yang gampang diraih, jadi akan sangat tidak sopan, bila sekembalinya dari sana tidak membawa apapun untuk wajah-wajah yang berharap di ruangan rapat itu.
“Sehat semua?” Itu kalimat pertama yang Andi ucapkan. Wajahnya sumringah walaupun terlihat jelas tanda-tanda sehabis bepergian.
“Bagaimana kabar Bali kalau begitu Ndi?” Terdengar suara dari pintu yang baru saja dimasuki Andi. Di sana berdiri Ryan dan Keyla. Semua mata melotot sebelum akhirnya berteriak histeris. “Kak Ryaaaaaan!”
Sambil tersenyum lebar, Ryan berjalan ke dalam ruangan diikuti Keyla di belakangnya.
“Angin apa kiranya yang bisa mengambilmu dari aktivitas perkuliahan yang sibuk Yan?” Andi merangkul sahabatnya.
“Kerinduan pada kalian,” candanya, walaupun ia menunjukkan mimik serius.
“Sangat masuk akal kalau begitu,” ledek Andi sambil melirik Keyla yang sekarang sudah duduk di kursi di dekat Ryan dan Andi berangkulan, “apa putri kecil kita ini tidak bisa tahan ditiinggal terlalu lama?” Andi menatap Keyla sambil tertawa.
“Kira-kira begitu?” Kata-kata Ryan membuat Keyla bersemu merah.
“Kalau begitu ayo kita saling bercerita.” Andi mengambilkan kursi untuk mereka berdua.
Setelah berbasa-basi tentang kondisi masing-masing sambil melahap oleh-oleh dari Bali dan Kanada, mimik Ryan tampak mulai serius.
“Teman-teman semua dan adik-adikku juga,” ia menatap semua orang yang ada di ruangan, seakan memastikan mereka semua memberikan perhatian padanya, “aku bukannya ingin mengungkap permasalahan lama. Aku juga bukannya tidak rela dengan kekalahan kita dalam munas.” Ryan diam sejenak. Semua yang hadir mengerutkan kening. Mereka tidak mengerti arah pembiacaraan Ryan. Pemilihan apa? Masalah yang mana? Kekalahan siapa?
“Tapi,” Ryan melanjutkan, “ada sedikit permasalahan yang menyita perhatianku, sehingga aku memutuskan untuk pulang dan mencoba membicarakannya dengan teman-teman di sini. Walaupun sebenarnya kepulanganku bukan karena permasalahan ini, tapi karena aku sudah ada di sini, kenapa tidak kita menyelesaikan masalah kecil ini.
Ryan menatap Rina dengan tatapan menilai. Ia seakan-akan tidak lagi mengenal anak itu. Kader yang sudah ia bimbing selama hampir 4 tahun. Menyadari tatapan Ryan, Rina mencoba membalas dengan tersenyum.
“Kasus ini terjadi sekitar 6 bulan yang lalu, dalam munas.” Ryan memulai.
Semua mata saling pandang, ruangan mulai dipenuhi dengung-dengung suara yang saling bergumam. Mencoba menebak arah pembicaraan Ryan. Satu-satunya permasalahan yang terjadi ketika munas 6 bulan lalu adalah kekalahan mereka karena salah satu dari mereka mamilih kandidat lain. Sampai hari ini tidak diketahui siapa yang telah mengkhianati perjuangan mereka. Walaupun banyak spekulasi dalam benak masing-masing, akan tetapi tak satupun yang mencoba untuk bertanya, masalah apa gerangan yang dimaksud Ryan. Mereka menunggu.
“Teman-teman pasti ingat kalau kekalahan kita disebabkan hilangnya satu suara yang seharusnya menjadi milik kita.” Ryan mengedarkan pandang, memastikan semua orang mencerna kata-katanya. “Setelah keberangkatan saya ke Kanada, hubungan dengan teman-teman dari Aceh. Mereka mengatakan bahwa setelah melakukan komunikasi dengan kader-kader yang menjadi delegasi Munas, tak satupun yang mengaku bahwa mereka membelot. Dan mereka yakin kalau itu benar.” Ryan berhenti sejenak.
Rina bersemu merah. Ia tak mampu menatap Ryan.
“Sebulan yang lalu saya mendapat kabar yang cukup menghentak. Awalnya saya tidak percaya dan tidak mau percaya pada berita itu. Saya beranggapan bahwa itu hanyalah isu-isu yang disebarkan untuk membuat kita saling mencurigai.” Ryan berkata dengan mimik sangat menyesal.
“Jadi kesimpulannya, pihak kita yang telah melakukannya? Apa begitu Kak?” David terlihat marah. Siapa kalau begitu? Semua delegasi Munas ada di sini, jadi sebaiknya kita selesaikan masalah ini sekarang.”
“Saya tidak ingin teman-teman emosi. Kita akan menanyakan apa alasannya. Bila masuk akal, tentu kita terima dan itu bisa menjadi kritik yang membangun. Namun bila tidak berlandaskan alasan yang rasional, saya harap kita bisa mengambil sikap dengan bijaksana.” Ryan menimpali.
“Bagaimana mungkin kita memaafkan kesalahan sebesar itu Yan?” Kali ini Andi yang berbicara. Raut mukanya tak berbeda dengan David. Apalagi ia merasa bertanggungjawab atas semua kader yang menjadi delegasi Munas, memastikan mereka setia.
“Bagaimanapun juga masalah ini sudah berlalu. Saya membukanya di sini bukan bermaksud untuk menghakimi, tapi agar kita bisa belajar dari kejadian yang lalu. Siapa saja yang kira-kira dapat dipercaya. Memilih orang yang benar-benar loyal bukanlah hal yang gampang. Kita tidak boleh memberikan amanah secara asal. Apalagi sebuah amanah yang besar.” Ryan melanjutkan.
Rani kian tertunduk. Ryan melirik dari sudut matanya. Sementara yang lain tak ada yang menyadari perubahan pada Rani.
“Oke, kalau begitu katakan siapa orangnya Kak.” Keyla mendesak.
“Berjanjilah bahwa kalian akan menyikapinya dengan bijaksana dan kepala dingin.” Ryan bersungguh-sungguh.
Semua yang hadir menganggukkan kepala. Menatap Ryan, menunggu keluarnya satu nama dari mulutnya.
“Kenapa kau lakukan itu Rin?” Kali ini Ryan memandangnya dengan tajam.
Rina terus menunduk. Ia berjuang melawan air matanya.
“Yan, siapa orangnya? Kenapa malah bertanya kepada Rina? Memangnya Rina melakukan apa?” Andi kebingungan, yang lain tak berbeda.
“Katakan saja Rani, mungkin alasanmu masuk akal.” Ryan mengacuhkan pertanyaan Andi. Ayo, katakan saja. Siapa yang kau pilih kalau begitu? Habil? Kenapa?”
Keyla yang sedari tadi berjuang memahami arti setiap kata-kata Ryan, terbelalak dan secara spontan memutar badan menghadap Rina. “Kau? Apa benar Rin?” Matanya berkaca-kaca. Yang lain segera menyadari maksud kata-kata Ryan dan sama seperti Keyla, langsung menatap Rina.
“Jelaskan kalau begitu.” Andi menatapnya tajam.
“Rin...apa harus begini? Kenapa tak pernah jujur? Sejak kapan kau mulai bohong padaku?” Keyla sangat terpukul. “Apa Habil jauh lebih berharga dari organisasi kita ini? Apa amanah yang kau pikul tak ada apa-apanya dibanding Habil? Lalu kini apa yang kau dapatkan darinya? Apa yang ia berikan untuk membalas kebaikanmu?” Keyla menekankan nada suaranya. “Oh, ya tentu saja. Kenapa aku lupa? Kau mendapatkan cintanya. Kenapa bisa kau begitu egois?
“Key?” Rina menatap Keyla.
“Lalu apa Rin?” Keyla menatapnya.
“Key, tahan emosimu!” Ryan mencoba menenangkan Keyla.
“Ternyata,” Keyla tak menggubris Ryan. “kau bukan hanya mengkhianati Kak Farhan tapi juga mengkhianati kamu semua. Mengkhianati organisasi ini. Bagaiaman kau akan bertanggungjawab? Apa itu semua agar Habil bisa menetap di Jakarta dan akhirnya kau akan bisa sering bertemu? Dan kau mendapatkannya bukan? Kau puas Rin?” Air mata Keyla tak terbendung lagi. “Aku tak pernah berpikir akan dikhianati seperti ini olehmu Rin. Tidak, setelah kita berbagi suka dan duka bersama selama 4 tahun.”
“Key, tahan!” Ryan kembali menasehatinya.
“Bagaimana aku bisa tahan Kak?” Keyla menjawab tapi matanya terus menatap Rina. “Sekarang,” Keyla kembali bicara kepada Rina, “apalagi yang akan kau jelaskan? Maksudku, alasan apa yang kau miliki untuk tindakan bodohmu itu?”
“Kau mengatakan bahwa kita harus memilih pemimpin berdasarkan kapabilitas mereka kan Key?” Suaranya terdengar bergetar, tapi ia terus bertahan agar tak ada air matanya yang mengalir.
“Dan kau berpikir bahwa Habil lebih baik dari Kak Ryan? Sudah berapa lama kau mengenalnya sampai kau bisa berkesimpulan seperti itu? Kenapa cinta begitu mudah membutakan matamu? Apa yang akan Kak Farhan katakan kalau dia mendengar ini?” Keyla terus memberondongnya dengan pertanyaan-pertanyaan.
“Aku sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi dengan Kak Farhan, jadi jangan bawa-bawa namanya di sini.”
“Rin....” Keyla terbelalak. “Aku tak mengenal dirimu yang sekarang Rin.” Suara Keyla melemah. “Bagaimana kau akan bertanggungjawab?”
“Jelaskan Rin.” Kali ini Andi yang bicara. Pengurus yang lain terus menyimak dengan seksama. Mereka mencoba mencerna fakta demi fakta yang kini disajikan ke depan mereka. Siapa dari mereka yang menyangka bahwa Rina yang begitu fanatik terhadap organisai mereka bisa berbuat seperti itu?
“Tak ada yang bisa aku jelaskan Kak,” jawab Rina, “semua terjadi begitu saja. Aku ingin memilihnya ketika pertama kali aku melihatnya. Ya, mungkin Keyla benar, aku dibutakan oleh cintaku pada Habil. Aku bertindak egois. Sekarang aku harus apa? Apa yang kalian inginkan dariku? Aku akan meninggalkan organisasi ini jika itu memang harus.” Rina menunduk. Tak mampu memilih. Ia mencintai Habil, tapi di sisi lain ia tidak sanggup kehilangan teman-teman se-organisasi yang telah menemaninya selama empat tahun. Memberinya dukungan ketika lemah, mengingatkan ketika lupa, menemani ketika sendirian dan member senyuman ketika ia bosan. Sekarang harus bagaimana, pikirnya. Mengapa Habil harus datang dalam kehidupannya. Yang paling menyakitkan dari semua itu di atas segalanya adalah kenyataan bahwa ia telah membohongi Keyla entah untuk keberapa kali. Kemarahan Keyla padanya mungkin sedikit megurangi rasa bersalahnya. Tapi akankah Keyla memaafkannya? Lalu Kak Farhan. Apa yang akan ia pikirkan tentang aku? Pengkhianat? Ya, apalagi selain itu. Tak bisa lebih dari itu bukan.
“Seharusnya kau menebus kesalahanmu, bukannya lari Rin.” David terdengar sengit.
“Lalu apa yang harus aku lakukan? Aku tidak mampu bertahan di tengah orang-orang yang mulai membenciku dan tidak mempercayaiku.”
“Kau yang membuat keadaan jadi begitu Rin.” David kembali menimpali.
Rina melirik Keyla yang berjuang melawan perasaannya. Ryan telah pindah duduk di sisinya untuk menenangkan. Betapa menyakitkan melihat Keyla yang begitu menderita. Aku telah merenggut kepercayaannya, batin Rina. Apa masih ada yang tersisa? Siapa aku berani berharap begitu? Sahabat? Sahabat macam apa yang tega bertingkah seperti ini? Cinta memang fitrah, tapi ketika ia datang pada tempat, waktu dan orang yang salah, beginilah jadinya. Aku telah menghancurkan harapan semua orang. Harapan semua anggota dan pengurus daerah. Bukankah kepergianku akan menyelesaikan semuanya? Rina mencoba membulatkan tekad.
Hening yang begitu lama membuat suasana kian tidak nyaman.
“Kau harus belajar dari kesalahanmu,” Ryan mencoba memecah keheningan, “jangan pernah terulangi lagi. Aku minta maaf karena telah mengungkit masalah ini ke permukaan. Aku tidak bermaksud apa-apa. Aku juga tidak mendendam karena tidak terpilih menjadi ketua umum pusat. Akan tetapi aku ingin kalian mengerti dan menghargai pengorbanan bersama. Kita melakukannya untuk kebaikan bersama. Jadi jangan sampai terulang kejadian seperti ini lain kali. Dan Rina, selesaikan masalahmu dengan Farhan sesegera mungkin. Pergi dari organisasi ini bukanlahh jalan keluar yang bijak.”
“Key,” Rina mencoba melunakkan hati Keyla, “aku tahu kau akan membenciku. Aku tidak bisa berbuat apa-apa untuk itu. Tapi aku masih mencintai Kak Habil. Aku sudah mengatakan bahwa hubunganku dengan Kak Farhan telah lama berakhir.”
“Aku tak perlu tahu,” balas Keyla, ia terlalu lemah untuk mendengar pengakuan yang begitu mengagetkannya, “kau punya hak atas hatimu. Itu bukan urusanku Rin. Lakukan sesuai kehendakmu.”
“Aku tahu kau marah Key. Semuanya, aku pamit dulu.” Rina memandang temannya satu persatu. “Aku ingin menenangkan diri.” Rina bangkit dari kursinya dan berjalan ke pintu. Di ambang pintu ia berdiri dan memandang orang-orang yang ia sayangi. Aku akan pergi, karena hanya ini yang bisa mengobati luka yang aku goreskan. Maaf. Semoga kemurahan Tuhan membuat kita bertemu lagi, batinnya.
Rina melangkah keluar dan semua orang di dalam ruangan larut dalam pikiran masing-masing.

Minggu, 06 Desember 2009

Waktu (Puisi)

Seperti malam...

Selembubu menari riang dilebur embun,
Mengecup gulita membunuh bingar

Seperti pagi...
Menghempas sunyi melerai mimpi,
Menyapa seringai mentari

Seperti siang...
Membakar gelora merantai langkah gontai,
Menyeka peluh mengejar gemuruh

Seperti jiwa kita...
Dan hidup yang tiada pernah terhenti dalam tanya dan penjelasan semata

Oleh: Penyair Cinta (03 November 2009)

Seperti Kita (Puisi)

Seperti dunia hendak berkata

Berkaca pada gerimis menyemai pagi
Menutup langit di pekat awan tak bertepi

Mungkin sang surya menutup malu
Enggan menyapa bidadari pagi
Sembunyikan dosa manusia tak berbudi
Redam amarah dan caci maki

Seperti kita...
Seperti manusia dan jiwa yang tak pernah suci

Oleh: Penyair Cinta (19 November 2009)

Jumat, 04 Desember 2009

Mimpi Pewaris Pertiwi (Cerpen)

Oleh
: Maharani


Hidup terkadang tak menyisakan tempat bagi orang seperti aku. Terlahir dari keluarga petani yang hanya memiliki sepetak sawah dengan ukuran tak lebih dari 10 m2. hasil panen hanya cukup untuk makan selama 2 bulan. Itupun harus menunggu 3 bulan sejak padi ditanam. Untuk menyiasati kebutuhan pangan kami yang terbilang keluarga besar ini, ibu seringkali mencampur beras dengan singkong pada saat memasak. Kau pasti akan bertanya bagaimana rasanya, bukan? Sebab aku tahu bahwa kau tak pernah kekurangan. Kau hidup berkecukupan. Entah mengapa kita bisa bersahabat seperti ini, walaupun hanya dalam surat.


Aku seringkali merasa iri melihat kehidupanmu. Kalau mau makan, tinggal panggil pembantu dan semuanya akan tersedia, kau tinggal menyuap. Bila untuk sekedar menyuap pun kau malas, maka ada banyak orang yang akan menyuapimu. Pagi hari kau akan berteriak dan sepuluh orang pembantu akan bergegas menyiapkan segala kebutuhanmu. Mandi air panas, pakaian rapi, sepatu yang telah disemir dan tas sekolah yang setiap seminggu sekali akan berganti.
Bagiku kehidupanmu ibarat putri yang kubaca dari novel ‘putri dari negri dongeng.’ Awalnya aku tak pernah tahu bahwa kehidupan yang serba sempurna itu ada di bumi ini. Aku hanya berani berharap bahwa Allah akan bermurah hati untuk memberiku tempat di surga agar aku bisa merasakan semua kenikmatan itu. sebab yang ku tahu surga itu tempat yang paling menyenangkan. Apapun yang kau minta dengan segera akan dikabulkan. katanya di sana juga ada sungai yang mengalirkan air yang bening. Juga ada sungai susu. Aku ingin sekali mandi di sungai itu. meminum airnya yang segar.


Di surga juga banyak bidadari-bidadari cantik. Ingin sekali rasanya seperti mereka. Aku juga tahu bahwa orang-orang soleh yang mendiami surga jauh lebih cantik daripada bidadari-bidadari itu. sekarang aku tak pernah lagi meninggalkan shalat, mengaji dan terkadang aku juga puasa senin kamis. Ya, semoga Allah mengizinkanku tinggal di surganya. Oh ya,tidak hanya aku tapi juga orang tua dan semua keluargaku. Hei, kau juga jangan lupa shalat ya, biar kita bisa bertemu di surga nanti. Katanya orang-orang yang berbuat baik akan kembali dipertemukan di sana. Itu yang ku tahu dari ustadz di masjid tempat aku mengaji selepas membantu ayah di sawah.
Aku terlalu penjang bercerita tentang surga. Apa kau percaya surga itu ada? Kalau aku, aku percaya sekali.


Tapi mengapa kau selalu mengeluh dalam surat yang kau kirimkan padaku? Padahal kau mendapatkan surga dunia. Kau bilang ingin hidup bebas sepertiku. Kau juga bilang ingin bermain layang-layang di tengah sawah dan berkejaran dengan teman-teman. Apa benar Jakarta sudah tak menyisakan tempat sekedar untuk bermain layang-layang? Guruku di sekolah pernah berkata bahwa Jakarta menjadi pusat pembangunan Negara kita. Pasti banyak sekali gedung-gedung tinggi, tempat bermain yang modern dan jalan-jalan yang lebar. Ingin sekali rasanya aku menginjakkan kaki di ibu kota pertiwi. Namun, aku harus puas untuk sekedar bermimpi. Ustadzku pernah bilang bahwa kita harus mensyukuri kehidupan yang kita miliki. Karena ada banyak orang yang jauh lebih tak beruntung di sana. Tapi dimana? Aku juga tak tahu. Di desaku, akulah orang yang paling miskin.


Dalam suratmu yang lain kau bercerita bahwa kau ingin pergi jauh dari rumahmu yang penuh dengan kemewahan. Ada apa denganmu? Di suratmu kau bercrita bahwa kehidupan yang kau jalani tak mampu membahagiakanmu. Aku terheran-heran membaca kisahmu. Bagiku, sekali lagi ku katakana bahwa hidupmu adalah kehidupan ideal yang yang diimpikan semua orang, tapi kau mengatakan bahwa kau tak lagi betah tinggal di ‘istana’ orang tuamu.


Semenderita apakah kau di sana? Toh, sepahit apapun hidupmu kau tak pernah berkeringat di bawah terik matahari untuk mencangkul sawah dan menanam padi. Kau juga tak pernah memikul beban yang beratnya hampir sama dengan masa tubuhmu. Bahkan aku berani bartaruh bahwa kakimu hampir tak pernah menginjak tanah, apalagi lumpur sedalam paha. Lantas apalagi yang membuatmu tak betah tinggal di rumah?


Aku terus menjalani hidupku apa adanya. Karena waktu tak pernah mau berkompromi untuk sekedar berhenti sejenak agar aku bisa melepas lelah. Pagi hari aku akan mengantar dagangan ibu ke pasar sebelum berangkat ke sekolah. Pulang sekolah aku membantu ayah mengolah sawah atau kebun kecil di belakang rumah kami. Ayah menanam beberapa jenis sayur sekedar untuk memenuhi kebutuhan kami. Karena aku sangat suka duren, maka sewaktu kecil dulu aku menanam pohon duren di kebun itu. pada saat musim buah aku bisa mencicipi duren sama seperti orang lain. Kau di sana pasti tinggal beli kan? Tinggal pilih mana yang paling kau suka. Tapi sekali-kali kau harus mencoba duren yang langsung jatuh dari pohonnya. Legit sekali dan rasanya sangat enak karena masih baru. Tak perlu pakai proses pengkarbitan yang sejatinya tak bisa menandingi rasa duren yang matang di pohon.


Alhamdulillah, aku lulus ujian akhir nasional tingkat SD. Kau pasti juga lagi merayakan kelulusanmu. Bagaimana nilai yang kau peroleh? Aku mendapatkan nilai rata-rata 8,5. Ya, syukurlah aku bisa memberikan yang terbaik untuk orang tuaku walaupun orang lain mendapatkan yang jauh lebih baik. Hei, bagaimana denganmu? Tentunya kau mendapat nilai 9 atau bisa jadi 10. Bukankah kau pernah bercerita bahwa setiap hari kau mendapatkan les tambahan di rumah untuk mata pelajaran eksak dan Bahasa Inggris, dengan guru privat yang di datangkan orang tuamu. Aku yakin kau mendapat nilai yang sempurna. Terus terang aku iri sekali dengan kehidupanmu. Aku ingin sekali bisa berbahasa Inggris dengan lancar. Aku ingin suatu hari nanti bisa menyambangi Eropa dan Amerika. Hmm, itu karena ceritamu yang sangat menarik. Kau mengatakan dalam suratmu bahwa Eropa sangat cantik ketika musim semi tiba, tapi entah mengapa aku sangat menyukai saljunya. Buku yang kau kirimkan bersama suratmu telah merubah impian dan cita-citaku. Aku ingin menjadi pilot, agar aku bisa menerbangkan pesawat ke negeri-negeri yang indah. Di buku itu aku melihat peradaban dunia. Betapa ilmu pengetahuan telah menghadirkan kemewahan ‘surga.’ Entahlah. Tak banyak yang terpikir olehku selain keinginan yang besar untuk bisa datang langsung ke sana dan menyaksikan pesona alam yang lain.


Oh ya, kau akan melanjutkan sekolah kemana? Kemana pun nantinya kau bersekolah, aku berharap kita masih tetap berteman dan saling berkirim surat untuk terus bertukar pengalaman dan mimpi-mimpi yang hadir setiap harinya. Kau tahu? Kemaren aku menceritakan keindahan Eropa kepada ustadzku. Bisa kau tebak apa komentarnya? Katanya, ‘Subhanallah! Allah bena-benar Maha Agung dan Maha Kuasa. Apapun mampu Dia hadirkan di bumi ini. Keindahan Eropa tak sebanding dengan keindahan surga. Surga jauh lebih indah. Sampai kini aku tak bisa membayangkan bahwa keindahan Eropa hanyalah percikan keindahan surga.


Sehabis mata pelajaran terakhir aku di panggil kepala sekolah. Dia mengatakan bahwa ada surat untukku. Aku girang sekali. Pasti itu surat darimu. Aku sudah tidak sabar membaca ceritamu. Karena sangat merindukan kahadiran suratmu yang terbilang telat, di tengah jalan aku membaca surat itu. dan sayang sekali surat itu jatuh ke tanah yang becek. Akibatnya aku harus menjemur surat itu terlebih dulu.


Betapa kagetnya aku ketika membaca suratmu. Kau mengatakan bahwa kau benar-benar tidak tahan tinggal di rumah yang bagai neraka. Setiap hari kau harus mengikuti jadwal yang telah disusun oleh orang tuamu. Mandi, sarapan, les ini dan itu dan terkadang menemani orang tuamu menemui relasi bisnisnya. Ya, cukup melelahkan. Kau juga mengatakan bahwa kau tak diizinkan keluar rumah tanpa pengawalan yang ketat dari bodyguard yang disewa ayahmu. Cita-citamu juga dibatasi. Kau dibentuk untuk menjadi pewaris perusahaan raksasa milik keluargamu. Rumahmu juga sepi karena tak ada saudara, kau anak tunggal. Ayah dan ibumu akan pulang tengah malam, bangun ketika kau sudah berangkat sekolah dan pergi lagi sebelum kau pulang. Oh ya, jadi kapan kau bisa bertemu mereka? Mereka juga tak jarang keluar kota atau bahkan keluar negeri untuk urusan bisnisnya dan akan kembali dalam satu atau dua minggu. Kau hanya ditemani pembantu-pembantu yang kaku dan selalu menjaga jarak darimu. Kau paham bahwa itu adalah aturan main yang ditetapkan oleh orang tuamu bagi para pembantu rumah tangga. Katanya agar para pembantu itu tak memberikan pengaruh yang buruk bagimu. Ketika terlihat mereka berbincang dengan akrab bersamamu, besoknya mereka akan dipecat. Kau menangis dalam suratmu karena tak izinkan untuk menjadi seorang guru. Cita-cita yang sungguh mulia bagiku. Tapi entah mengapa orang tuamu tak bisa memahaminya. Toh, keberhasilan mereka tak lepas dari peran seorang guru. Kau merindukan kehangatan, cinta dan kasih sayang.


Sebentar, ada tulisan yang hilang di sini. Pasti karena jatuh di tanah becek tadi sehingga tulisannya terhapus.
Aku menulis surat balasan dan menanyakan isi suratmu yang tak bisa ku baca. aku juga bercerita bahwa saat ini aku telah mendapatkan mata pelajaran bahasa Inggris. Aku yakin sekali cita-citaku menjadi pilot akan terwujud. Kau harus mendoakanku. Nanti kalau kau pergi ke Eropa lagi, akulah pilotnya. Hahahaha. Mimpi yang indah bukan? Kau akan kuizinkan duduk di dekatku saat aku mengemudikan pesawat. Mungkinkah itu?


Satu bulan, satu semester, satu tahun aku terus menantikan surat darimu. Tapi sejak suratmu yang terakhir tak ada surat yang kau kirim. Apa kau marah padaku? Kenapa? Aku terus mengirim surat padamu sesuai kesepakatan kita. Sebulan sekali. Apa kau lupa? Aturan itu belum kita ganti, mengapa kau tak kunjung membalas suratku? Sekarang aku sudah kelas 3 SMA. Sudah 5 tahun sejak suratmu yang terakhir. Aku masih setia mengirim surat, berharap akan ada balasan darimu. Aku terus bercerita tentang masa SMA yang kulalui. Cukup bahagia walaupun keseharianku tak banyak berubah. Pagi hari aku masih mengantar dagangan ibu ke pasar dan sepulang sekolah aku tetap ke sawah atau ke kebun.


Kali ini aku kembali berkirim surat. Sebentar lagi kita akan menghadapi ujian akhir nasional tingkat SMA. Perasaanku campur aduk. Khawatir tidak lulus dan mengecewakan orang tua. Parahnya lagi, aku pasti tak akan bisa meraih cita-citaku karena akan berakhir menjadi petani menggantikan ayahku. Tuhan, bermurah hatilah padaku. jangan sampai itu terjadi padaku. Bagaimana persiapanmu menghadapi UN? Pasti kau sudah sangat mantap. Karena aku yakin orang tuamu tetap menyewa guru privat untuk membimbingmu belajar di rumah. Ya, yang penting kita yakin bahwa kita mampu manghadapi ujian ini. Semoga kita lulus dengan nilai yang memuaskan. Kau tahu, aku ingin sekali bertemu denganmu.


Entah mengapa suratku yang sepenting inipun tak kau balas. Apa kau marah? Kenapa? Sudahlah, aku ingin berkonsentrasi dulu untuk menghadapi ujian ini. Kurasa kau pun begitu. Aku merindukan tulisanmu yang rapi dan indah menuliskan keseharianmu dalam selembar kertas.


Standar nilai yang tinggi membuat semua siswa panik dan sangat khawatir pada hari kelulusan. Aku tak ubahnya seperti mereka. 5.50, itulah nilai minimal yang harus kami raih untuk bisa meninggalkan SMA. Dua bulan belakangan ini aku selalu bermimpi sedang menerbangkan pesawat dari Indonesia ke Jerman dan kau sobat, ada di dalamnya. Kau begitu bangga padaku. dengan setelan jasmu yang lux dan sejumlah pengawal yang setia. Benarkah kau tak bisa meraih cita-citamu? Dengan kekayaan yang begitu berlimpah kau tidak hanya bisa menagajar, tapi kau bisa mendirikan sekolah. Sekolah gratis untuk anak-anak yang bernasib sama denganku. Ah, kau tahu, itu ternyata memang cuma mimpi, tapi kini aku sudah bangun untuk meraihnya.


Kepala sekolah memasuki ruangan dan memberikan sambutan sebelum amplop ajaib berisi peruntungan kami dibagikan. Kepala sekolah berpesan bahwa hasil seperti apapun yang kami dapatkan, yakinlah bahwa itu adalah yang terbaik karena kami telah berusaha dengan seungguh-sungguh. Kata-kata laki-laki yang bijaksana itu bukannya mampu meredakan ketegangan yang melanda kami, tapi menjadi bom yang siap meledak sewaktu-waktu bila ternyata hasil yang kami dapatkan mengecewakan orang tua dan guru kami, tentunya akan menjadi pukulan berat bagi kami.


Aku membawa amplopku pulang dengan berlari. Aku ingin ibu dan ayahku lah yang pertama kali melihat tanda kelulusan itu. Tapi bagaimana kalau aku tidak lulus? Apakah harus orang tuaku yang pertama kali merasakan kekecewaan itu? Kenapa aku tak punya keberanian untuk membuka amplop itu?
Bukan, bukan begitu. Lantas apa? Aku ingin melihat senyum merekah di bibir pahlawanku itu. Aku ingin membayar jerih payah mereka selama belasan tahun tak pernah letih memberikan kasih sayang kepadaku. Aku berdiam diri di pojok rumah sambil mengumpulkan keberanian menghadapi Ayah dan Ibu. Aku mengambil napas dalam dan membuangnya dengan perlahan. Berusaha menahan perasaan khawatir yang tiba-tiba menyerangku.


Akhrinya aku melihat senyum itu,wajah yang sumringah dan tangis bahagia bercampur jadi satu. Aku terharu karena akhirnya aku mampu menghadirkan kebahagiaan dalam hidup mereka.


Pagi ini aku berada di Jakarta. Aku akan mengikuti seleksi untuk masuk sekolah penerbangan. Orang tuaku dengan bangga mengantarkan aku meraih cita-citaku. Di Jakarta kami menumpang di rumah saudara jauh. Aku baru kali ini bertemu dengan mereka. Wajar saja, mereka merantau sebelum aku terlahir dan tak pernah pulang setelah lebih dari puluhan tahun. Anak-anaknya cantik dan tampan. Di antaranya ada yang seumuran denganku dan telah mendaftar untuk melanjutkan studi di UI Jurusan Pendidikan Dokter. Yang lebih tua dariku sudah dalam tahap menyusun tugas akhir di ITB jurusan Tekhnik Geodesi.


Setelah mengikuti seleksi nanti aku akan mampir ke rumahmu. Tanteku mau mengantarkanku mencari alamatmu. Bagi orang Jakarta tentu tak akan sulit untuk mencari sebuah alamat perumahan yang mewah seperti rumahmu. Kau tahu, aku sangat gembira ketika akhirnya aku bisa menemuimu. Kita tak lagi sekedar teman korespondensi atau sahabat pena. Tapi akan berteman dalam dunia nyata. Doakan agar aku lulus dalam seleksi ini sehingga kita bisa bersama-sama meraih cita-cita.


Hmmm, kau pasti bertanya kenapa aku bisa masuk sekolah penerbangan padahal bayar SPP saja aku sering telat. Allah begitu menyayangiku, sehingga aku diantar untuk meraih cita-citaku, aku dapat beasiswa untuk melanjutkan kuliah dari PEMDA. Cita-citaku tinggal selangkah lagi, namun tetap saja butuh perjuangan yang berat


Aku sudah berada di depan pintu rumahmu. Aku mengetuk pintunya sementara itu tanteku memencet sebuah tombol yang ada di sana. Aku tidak tahu itu apa. Tapi yang jelas tak lama kemudian pintu rumahmu terbuka dan seorang perempuan berdiri di sana.
Aku bertanya dan menyebut namaku. Perempuan itu langsung histeris. Aku tidak mengerti, apa yang telah aku lakukan. Aku baru kali ini bertemu dengannya, tapi seakan-akan aku adalah penjahat yang selama ini mengintainya. Setelah cukup menguasai diri, dia mempersilahkan kami masuk. Aneh, sudah hampir setengah jam kami di sini tapi aku belum juga melihatmu. Apa aku salah alamat? Perhatianku teralihkan oleh sebuah benda di seberang ruangan tamu ini. Tepatnya di ruang keluarga. Bukankah kau bilang bahwa kau senang sekali bermain piano dan tak sedetik pun kau lewatkan di rumahmu tanpa memainkan alat musik yang cantik itu. Tapi, piano itu ditutup dengan sehelai kain dan kelihatannya sudah lama tak disentuh. Sepertinya aku benar-benar salah alamat, begitu pikirku.


Akhirnya kuberanikan diri untuk menanyakan keberadaanmu. Dan jawaban yang kudengar merontokkan persendianku. Simaklah kawan! Rani sering bercerita padanya bahwa dia memilki seorang teman jauh. Selama ini mereka berkomunikasi lewat surat. Nama temannya itu Mita. Kehadiran Mita dalam hidupnya membuat Rani mendapat pencerahan di tengah tuntutan orang tuanya yang memaksakan kehendaknya kepada Rani. Rani ingin sekali menjadi seorang guru dan berbakti pada negeri ini. Tapi orang tuanya menginginkan agar rani menjadi seorang pebisnis. Setiap hari Rani di cekoki dengan berbagai persoalan perusahaan yang sejatinya hanya mampu dipecahkan oleh mahasiswa. Padahal saat itu rani masih kelas 6 SD. Karena tidak mampu menyelesaikannya, orang tua Rani berpikiran bahwa pelajaran yang diterima Rani masih belum memadai. Sehingga mereka mencarikan beberapa orang guru privat untuknya.


Setelah kejadian itu hari-hari Rani dipenuhi dengan belajar dan belajar tanpa diberi kesempatan bermain seperti anak seusianya. Disela-sela waktunya Rani menghibur diri dengan bermain piano. Lantas dimana Rani sekarang?
Ketika bersahabat denganku Rani merasa bahwa penderitaan yang dia rasakan ternyata masih lebih ringan dari penderitaanku sehingga dia kembali memiliki semangat hidup. Dia mencoba menjalani hari-harinya dengan tabah dan mengikuti keinginan orang tuanya sementara dalam hatiya ia terus memendam cita-cita luhurnya. Rani berharap suatu saat nanti orang tuanya akan mengerti bahwa ia memiliki cita-cita sendiri.


Hingga pada suatu hari yang dinantikan, tanda-tanda bahwa orang tuanya akan memberi ruang bagi Rani untuk mengekspresikan diri tak kunjung nampak. Rani dengan segala kepolosan seorang anak SMP mencoba kabur dari rumah dan menumpang di rumah salah seorang temannya di luar kota.


Suatu hari ia kembali untuk menjemput boneka panda-nya. Boneka itu akan dikirimnya padaku karena ia tahu akupun sangat menyukai binatang dari negeri tirai bambu itu. Malangnya, ketika Rani pulang, orang tuanya ternyata sedang berada di rumah. Karena kalut, Rani berlari keluar rumah tanpa menoleh ke kanan dan ke kiri. Boneka panda ada di tangan kanannya.
Tanpa diduga dari arah kanan, sebuah sepeda motor melaju kencang dan tanpa bisa dicegah menabrak Rani dengan keras. Rani terpental jauh dan kepalanya membentur trotoar. Si pengemudi terlontar ke arah yang berlawanan.


Setelah mengalami koma selama 2 minggu akhirnya Rani pergi. Menuju surga yang mungkin lebih baik baginya. Pendarahan otak yang parah dan beberapa organ dalam tubuhnya rusak. Di kantong bajunya terdapat sebuah surat yang akan dikirimkan kepadaku. Surat itu berlumuran darah. Si pembantu ternyata masih terus menyimpan surat itu dan surat-suratku yang terus berdatangan sebulan sekali. Si pengemudi mengalami nasib yang sama.


Pagi itu, 6 tahun kemudian, aku berdiri di samping batu nisan Rani. Menangisi kepergian yang tak pernah ku sangka. Seorang sahabat yang hanya aku kenal lewat tulisan tapi terlalu dekat di hatiku.
Aku telah meraih cita-citaku menjadi pilot dan baru kemaren aku kembali dari daratan Eropa. Walaupun aku belum mendapatkan kesempatan untuk menerbangkan sendiri pesawat ke negeri para penakhluk itu.
Lalu, Rani? Ia telah membawa mimpinya bersamanya ke alam yang tenang dan damai. Seharusnya bumi pertiwi ini kehilangan seorang calon guru yang berdedikasi tinggi.

Ciputat, Oktober 2009