Lelah senja menguning termenung dalam
sunyi menerpa derita begitu menyiksa
nafas menderu berhembus keprihatinan
terasa perih pijakan kaki kehidupan
duri menusuk laksana sayatan tajam
hidup terlantar dalam kubang kengerian.
Di sana terdengar tangisan
merengek perut memekik mengharap sebutir harapan
kering kerontang mencekik leher
setetes kedamaian melumer
tak jua datang kasih sayang
tiada bertandang tamu dermawan
hidup penuh penderitaan
Pakaian kumal terajut penuh tambalan
tangan kering terkapar mengharap sesuap penghilang rasa lapar
tumit berpijak di atas jembatan kemiskinan
menyisir derita nampak terjal penuh kerikil tajam.
Langit terpejam diam
angin lembah merintih membawa aroma kedukaan
pagi hambar terasa buram.
Terseok ia menyeret langkah kaki
mencoba bertahan meniti jalan perih
mengais serpihan harapan dalam hidup menuju kebahagiaan
Namun perih begitu menghujam
senyuman tak sudi menghilangkan dahaga lapar
mata terpincing menerka para Saudagar
mengiba belas kasihan, merintih ia dalam-dalam
tertahan tangis karena tiada senyuman kehangatan
“Tuan, kasihani saya, Tuan”
Ia tertatih melantunkan rengekan kemiskinan
Begitu kejam kehidupan
tak jua tersentuh para pemakai sepatu hitam
berdompet tebal.
Seakan bumi tak terima pijakan lemah mengotori.
Dan ketika keringat menjadi lelah
kulit keriput terasa merinding
“Hai pergi! Kau mengotori keindahan!”
Badai mengoyak porak-poranda
si miskin tersisih, tiada terima mencicipi kebahagiaan
daratan tak sudi memapah, seakan mengutuki dirinya
“Dasar sampah!”
Tusukan tak lagi berupa senjata tajam
darah air mata mengalir dari suara penuh hujatan
“Apakah saya berdosa hidup miskin?”
Tangisan mengiringi saat hidup terasa mati.
Oleh : Irfan Fauzi Pemulung Ilmu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar