Rabu, 01 Juni 2011

DUNIA KETIGA: SEBUAH REFLEKSI C.P. SNOW “DUA BUDAYA” * (ESAI)

Dua objek yang saat ini telah membelah pola pandang manusia pada umumnya, yakni dunia sains/teknologi dan budaya marak menjadi perbincangan di kalangan awam terlebih di kalangan komunitasnya sendiri. Perkembangan sains dan teknologi telah membawa manusia pada berbagai kemudahan, kenyamanan, bahkan kekuasaan. Peradaban super organisme telah menerbangkan manusia pada titik nadirnya, kemajuan teknologi melesat tinggi untuk kembali mendarat menyebarkan bau mesiu yang menjalari kebobrokan bumi dan langit.

C. P. Snow dalam bukunya “Dua Budaya” mengungkapkan bahwa di satu pihak, masyarakat telah menjelma menjadi sebuah cybersociety yang telah mencapai kejayaan, di pihak lain kejayaan tersebut meledak untuk membentuk sebuah kondisi chaos dan ancaman kepunahan umat manusia yang ditimbulkannya, seperti timbulnya penipisan ozon, radiasi nuklir, dan kehancuran moral. Tanpa disadari manusia telah menggali kuburnya sendiri untuk menimbun kemanusiaannya, karena terkadang manusia seperti robot yang mudah diklik oleh perintah digital.

Sehingga lanjut Snow, tempo kecepatan pertumbuhan teknologi tidak diimbangi oleh percepatan pertumbuhan kebudayaan dan moral manusia yang pada gilirannya terjadi ketimpangan dalam sebuah tatanan masyarakat (disharmony). Ketimpangan tersebut diakibatkan tidak adanya sinergitas antara komunitas teknologi dan komunitas budaya. Bila sinergi diantara unsur komunitas sains/teknologi dan komunitas kultural di dalam sebuah masyarakat melemah, maka masyarakat tersebut akan memproduksi budaya yang sakit (sick culture) atau sains yang sakit (sick science), atau bahkan mungkin semuanya sakit (sick society). Bila sinergi diantar berbagai unsur (komunitas, kelompok, disiplin ilmu, dan profesi) mengalami krisis dan kepunahan total, maka organisme masyarakat tersebut akan mengalami kematian: kematian budaya,bahkan kematian masyarakatnya. Di dalam kelompok-kelompok sosial, sinergi mempresentasikan bahwa aktivitas-aktivitas individu mendukung kelompok secara keseluruhan.

Dilihat dari kacamata sistem sinergi trersebut, saat ini masyarakat tampaknya berada pada keadaan sinergi yang rendah. Hal itu terlihat dari munculnya berbagai ancaman, tekanan, bencana alam yang mengancam eksistensi manusia dan lingkungannya.

Dalam refleksi ini akan disajikan solusi perubahan fundamental yang ditawarkan Snow, yaitu:

1. Perubahan pada tingkat paradigma, yaitu perubahan pada model-model keilmuan dan cara bertindak diantara berbagai komponen yang membentuk sebuah masyarakat.

2. Perubahan pada pandangan dunia, yaitu dengan melihat dunia atau masyarakat sebagai sebuah keseluruhan, bukan hanya diri kita sendiri.

3. Perubahan pada tingkat kesadaran, yaitu menumbuhkan kesadaran akan pentingnya bekerja secara bersama-sama di dalam berbagai unsur, kelompok, atau komunitas yang terlibat.

Dalam hal ini yang diperlukan dalam peningkatan sinergi sebuah masyarakat adalah mengubah budaya dalam pengertiannya yang paling luas, maka masyarakat yang bersinergi tinggi perlu mengaktifkan di dalam diri individu atau komunitas beberapa hal sebagai berikut:

1. Meningkatkan hubungan diantara unsur sebuah masyarakat. Artinya, kita berupaya memahami diri kita sebagai individu dalam kaitannya dengan sebuah sistem atau jaringan individu-indivdu yang lebih besar.

2. Meningkatkan komunikasi atau dialog, artinya perlu ada mutual understanding maupun mutual simbiosis diantara berbagai unsur masyarakat.

3. Menjadikan sains dan teknologi sebagai bagian dari public culture. Para ilmuwan, budayawan, dan masyarakat melakukan sharing pengetahuan, pengalaman, atau keahlian, sehingga pengetahuan tersebut menajdi milik masayrakat.

4. Pemahanam akan tujuan bersama (Common objective). Artinya, setiap unsur harus mengaitkan tujuannnya dengan tujuan bersama masyarakat yang lebih besar.

5. Sinkronisasi, yakni dengan menciptakan keseimbangan di antara dua cara berpikir yang bersifat ekslusif di dalam masyarakat two culture. Cara berpikir baru tersebut bersifat analitis sekaligus holistik, kecerdasan sekaligus intuitif, aktif sekaligus reseptif.

Pada akhirnya kerjasama diantara dua komunitas ini, mutlak diperlukan, jangan sampai saling mematahkan sayap karena bukan akan melancarkan pencapain tujuan, justru akan semakin memperlambat bahkan menggagalkan target yang direncanakan.


*) C.P. Snow. Dua Budaya: dan sebuah pandangan kedua.Yogyakarta: jalasutra


Oleh : Farah Pramudita

Tidak ada komentar:

Posting Komentar