Jumat, 29 Oktober 2010

Duka Merapi (Puisi)

Bisik pagi melerai hari

Terbangun raga hirup udara
Ditemani cerah rona mentari

Kuharap Tuhan tak lantas murka
Mengganti langit pekat bertahta
Dibuai tangis jelata disana
Di kaki merapi bencana manusia

Kuharap semua hanya isyarat
Ujian dari-Mu untuk sesaat
Sejenak tengok hamba-Mu yang taat
Kembali pada ridho-Mu selamat

Redakan duka tak tergapai tangan
Beri mereka senyum ketabahan
Hingga tiba berjumpa kedamaian


Oleh : Sang Penyair

Kamis, 28 Oktober 2010

Uzur Dunia (Puisi)

Tanahku berguncang

Letup merapi kian membara
Membakar tangis derai air mata
Mengering luka tersengat lava

Lautku berontak
Menyapu dusun tanpa berita
Meregang nyawa mencuri jiwa
Menebas belantara hadirkan derita

Dalam kalut menanti maut
Mengendap kalbu sembunyi dibalik kabut
Mungkin Tuhan sedang bergelut
Beri isyarat semesta mengkerut

Nafas dunia mungkin telah uzur
Tinggal dosa menanti kubur
Berjumpa dengan kasih-Nya tak terukur


Oleh : Sang Penyair

Pemuda (Puisi)

Namamu tak lagi menggema

Bergemuruh menghentak nusantara

Ukir kokoh sejarah abadimu


Geliatmu tak lagi meraja

Menebas angkuh digdaya semesta

Beri nafas bukti perjuanganmu


Pemuda...

Darahmu aliran asa denyut pertiwi

Otakmu gumpalan ide letup imaji

Keringatmu tetes semangat bara api

Masihkah engkau diam & menepi...?


Sudah saatnya raga membayar waktu

Menghapus legam tangis kelabu

Kobarkan panji merah putihmu


Oleh : Sang Penyair

*Didedikasikan untuk memperingati hari sumpah Pemuda

Senin, 25 Oktober 2010

Tak Reda (Puisi)

Pantas saja hujan tak reda

Tetes air menguji rasa

Jatuh perlahan, gontai tak berujung


Sedetik berganti menit, semenit berganti jam

Tak terasa banjir mengepung

Menggenangi hiruk pikuk kota terapung

Tak terdengar bising, tak pula sajian keliling


Hanya air meleja riang

Ditemani sisa nafas malam panjang

Dinding kamar tak henti merayu

Mencuri hasrat memacu rindu

Kembali pulang di pelukan gubuk hangatku



Oleh : Sang Penyair

Kamis, 21 Oktober 2010

Jalan Cinta (Puisi)

Jalan Cinta-Mu sungguh berliku

Berkelok terjal menukik tajam,

mendaki payah menata langkah

Menguji syukur kala sempit

Menguji sabar kala terhimpit

Melukis ikhlas kala memberi


Anugerah-Mu tak pernah surut

Meski zaman semakin mengkerut

Kasih sayang-Mu tak henti melimpah

Meski manusia semakin serakah


Tunjukkan padaku setapak arah

Bimbing kalbu tak sesat melangkah

Menuju jamuan surga-Mu yg indah



Oleh : Sang Penyair

Rabu, 20 Oktober 2010

Menagih Janji (Puisi)

Bumiku kian tersudut

Disergap hujan membasuh semesta

Menggigil sudah teriakan itu

Meraung berkobar tak surut nyali

Membawa panji menagih janji

Menyusuri jalan berapi-api


Setahun sudah kami bermimpi

Di atas dusta lisan penguasa

Jangan lagi engkau mendongeng

Menutup lemah tingkahmu yang cengeng


Buang saja ajudan-ajudan rakusmu

Kembalikan amanah dipundak kerja kerasmu

Mengabdi tulus pada rakyatmu



Oleh : Sang Penyair

Kamis, 07 Oktober 2010

Papuaku (Puisi)

Papuaku Berduka..

Menangis pilu dihempas badai tanpa berita

Segulung air tak lagi lembut membelai raga

Menghempas damai nyanyian kicau desa


Papuaku Menangis..

Menyeret luka menahan tiris

Ditelanjangi belukar dan sisa-sisa gerimis

Lewati hari menambal duka-duka teriris


Papuaku Berkaca..

Mencuri hikmah dibalik derita lara

Bahwa ujian hanyalah senyum tertunda

Bahwa cobaan, hanyalah kasih sayang dari-Nya



Oleh : Penyair Cinta

Rabu, 06 Oktober 2010

Peri Kecil (Puisi)

Terbanglah peri kecilku..

Setinggi harap kutitipkan di langit biru

Meski hanya setumpuk kelabu

Cukuplah malam berteman rindu melagu syahdu

Hingga saatnya nanti, kembalilah dipangkuan

Untuk kutukar sajak cinta, berganti embun dilembah peraduan

Dikala malam tak lagi perkasa, menawan rindu degup pertemuan




Oleh : Penyair Cinta

Selasa, 05 Oktober 2010

Wasior (Puisi)

Hari ini sungguh kelu

Tiada mentari, tiada pula rembulan cantik

Hanya setangkub awan legam, selalu saja berteman rinai hujan

Pekat tak berwarna, jengah tak bercahaya

Mungkin langit sedang berduka

Berbagi luka sepenggal rasa

Tanah Wasior tak lagi bersahaja, dihempas badai nelangsa jiwa

Terbawa bengis lautan tangis, menatap nanar ombak mengiris

Mungkin Tuhan hendak merayu, berbagi duka meratap sayu



Oleh: Penyair Cinta

Jumat, 01 Oktober 2010

Biografi Tokoh Sastra Indonesia (Groys Keraf)

Dr. Gorys Keraf lahir di Lamera/ Lembata NTT tanggal 17 Nopember 1936. Beliau meninggal diusia 61 tahun pada tanggal 30 Agustus 1997.
Beliau adalah seorang ahli bahasa di Indonesia dan juga tokoh Katolik Indonesia. Beliau menamatkan Sekolah Menengah Pertama di Seminari Hokeng (1954). Kemudian Sekolah Menegah Atas beliau selesaikan di Syuradikara Ende (1958). Masuk Fakultas Sastra Universitas Indonesia tahun 1959 hingga memperoleh gelar Sarjana Sastra Jurusan Bahasa Indonesia Jurusan Lingustik tahun 1964. Terakhir beliau meraih Doktor dalam bidang Lingustik dari Universitas Indonesia (22 Pebruari 1978) dengan disertasi berjudul Morfologi Dialek Lamarela.

Pernah mengajar di SMA Syuradikara, SMA Seminari di Hokeng, SMA Buddahaya II Jakarta (1962—1965), SMA Santa Ursula dan SMA Theresia (1964),. Beliau juga pernah menjadi dosen di Fakultas Pendidikan dan Fakultas Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan Unika Atma Jaya (1967), Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian dan Jakarta Accademy Languages Jakarta (1971).
Terakhir beliau menjadi dosen tetap di Fakultas Sastra Universitas Indonesia sejak tahun 1963, disamping menjadi koordinator mata kuliah Bahasa Indonesia dan Retorika di Fakultas Hukum dan Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial Universitas Indonesia.

Karya-karya beliau, antara lain;
1. Tatabahasa Indonesia (1970)
2. Komposisi (1971, 1980)
3. Diksi dan Gaya Bahasa (1981)
4. Eksposisi dan Deskripsi (1981)
5. Tata Bahasa Rujukan Bahasa Indonesia untuk Tingkat Pendidikan Menengah (1991)
6. Lingustik Bandingan Historis (1958)
7. Lingusitik Bandingan Tipologis (1990)
8. Tanya Jawab Ejaan Bahasa Indonesia Untuk Umum (1992)

Biografi Tokoh Sastra Indonesia : Ramadan K.H

Ramadan K.H
. yang nama lengkapnya adalah Ramadan Karta Hadimadja (lahir di
Bandoeng, 16 Maret 1927 – meninggal di Cape Town, Afrika Selatan, 16 Maret 2006 pada umur 79 tahun) adalah seorang penulis biografi Indonesia. Ia meninggal setelah menderita kanker prostat selama ±3 bulan.

Kang Atun, panggilan akrab Ramadan, adalah anak ketujuh dari sepuluh bersaudara. Ayahnya, Rd. Edjeh Kartahadimadja, adalah seorang patih Kabupaten Bandung pada masa kekuasaan Hindia Belanda. Ia dilahirkan dari perkawinan ayahnya dengan Saidah. Aoh K. Hadimadja (1911 - 1972) yang juga dikenal sebagai penyair dan novelis itu, adalah kakak kandung seayah Ramadan yang lahir dari rahim istri pertama ayahnya yakni Rd. Djuwariah binti Martalogawa. Ketika usia Ramadan masih belum genap tiga bulan, ayahnya terpikat perempuan lain dan menceraikan Saidah yang langsung dikembalikan ke kampung. Pengalaman tersebut membuat ia dekat dengan sosok ibu dan menghayati derita kaum perempuan.

Pendidikan dan Pekerjaan

Ramadan pernah bekerja selama 13 tahun sebagai wartawan Antara. Lalu, dia minta berhenti karena tak tahan melihat merajalelanya korupsi waktu itu. Dia tercatat sebagai mahasiswa ITB dan Akademi Dinas Luar Negeri di Jakarta, kedua-duanya tidak tamat. Dia juga pernah bertugas sebagai Redaktur Majalah Kisah, Redaktur Mingguan Siasat dan Redaktur Mingguan Siasat Baru.

Semasa hidupnya Ramadan terkenal sebagai penulis yang kreatif dan produktif. Ia banyak menulis puisi, cerpen, novel, biografi, dan menerjemahkan serta menyunting.

Kumpulan puisinya yang diterbitkan dengan judul "Priangan Si Djelita" (1956), ditulis saat Ramadan kembali ke Indonesia dari perjalanan di Eropa pada 1954. Kala itu, ia menyaksikan tanah kelahirannya, Jawa Barat, sedang bergejolak akibat berbagai peristiwa separatis. Kekacauan sosial politik itu mengilhaminya menulis puisi-puisi tersebut.

Sastrawan Sapardi Djoko Damono, menilai buku tersebut sebagai puncak prestasi Ramadan di dunia sastra Indonesia. Menurut Sapardi, buku itu adalah salah satu buku kumpulan puisi terbaik yang pernah diterbitkan di Indonesia. "Dia adalah segelintir, kalau tidak satu-satunya, sastrawan yang membuat puisi dalam format tembang kinanti," papar Sapardi.

Pada tahun-tahun terakhir hidupnya Ramadan tinggal di Capetown mengikuti istrinya, Salfrida Nasution, yang bertugas sebagai Konsul Jenderal Republik Indonesia di kota itu. Sebelumnya ia pernah tinggal di Los Angeles, Paris, Jenewa, dan Bonn, menyertai istrinya yang terdahulu, Pruistin Atmadjasaputra, juga seorang diplomat, yang dikenal dengan panggilan "Tines". Tines, yang dinikahinya pada 1958, mendahuluinya pada 10 April 1990 di Bonn, Jerman. Setelah ditinggal istrinya, pada tahun 1993 Ramadan menikah kembali dengan Salfrida, seorang sahabat istrinya yang pernah menyumbangkan darahnya ketika Tines sakit.

Korban Fitnah

Pada tahun 1965 Ramadan sempat ditahan selama 16 hari di Kamp Kebon Waru, Bandung, bersama-sama dengan Dajat Hardjakusumah, ayah kelompok pemusik Bimbo yang saat itu menjabat pimpinan Kantor Antara Cabang Bandung.

Keduanya ditahan karena dilaporkan bertemu A. Karim DP dan Satyagraha, pimpinan PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) Pusat yang masa itu dianggap berideologi kiri dan mendukung G-30-S. Oleh karena itu, mereka juga dianggap pendukung G-30-S. Belakangan ia baru tahu bahwa mereka difitnah kelompok lain dapat menguasai kantor Antara cabang Bandung. Sesudah enam belas hari dalam tahanan, keduanya dibebaskan dan pimpinan pusat Antara memindahkannya ke Jakarta. Ramadan langsung pindah ke Jakarta.

Menulis Biografi Presiden Soeharto

Pada 1982, ketika tinggal di Jenewa, Ramadan dihubungi oleh Kepala Mass Media Sekretariat Negara di Jakarta, Gufran Dwipayana yang mengajaknya untuk menulis biografi Soeharto yang masih menjabat sebagai presiden R.I. waktu itu. Ramadan mula-mula menolak, karena sebagai orang Jawa Barat merasa tak menguasai budaya Jawa, daerah asal Soeharto. Namun Soeharto sudah menjatuhkan pilihan pada Ramadan.

Nama Ramadan dipilih lantaran bukunya, Kuantar ke Gerbang, biografi kisah cinta Inggit Garnasih dengan Presiden Soekarno sangat berkesan bagi Dwipayana, orang dekat Soeharto, yang dipercayai menentukan calon penulis biografi Soeharto.

Selama penulisan biografi Soeharto hanya dua kali Kartahadimadja bertemu dengan orang terkuat di masa Orde Baru. Pertanyaan di luar pertemuan itu diajukan Kartahadimadja dengan cara merekamnya. Lalu rekaman itu dititipkannya lewat Dwipayana, yang setiap Jumat bertemu Soeharto. Berdasarkan rekaman jawaban itulah Ramadan lebih banyak bekerja.

Penulisan biografi Soeharto membuat Ramadan merasa tertekan, tak sama dengan ketika dia menulis buku biografi tokoh lain. Dia merasa berat melakukannya karena takut salah tulis atau malah ditangkap.

Ramadan biasanya mengajak seorang atau lebih penulis lain untuk menulis biografi. Selain meringankan tugas, sekiranya dia berhalangan, sakit, atau meninggal dunia, penulisan buku itu tidak terhenti.

Tidak selamanya perjalanan Ramadan dalam menulis berjalan mulus. Rencana menulis biografi Ibnu Soetowo, mantan Direktur Utama Pertamina, dan Wiweko, tokoh penerbangan nasional, gagal lantaran perselisihan antara narasumber dengan rekan Kartahadimadja yang membantunya menulis. Penulisan biografi Yulia Sukamdani juga batal karena permintaan suaminya.

Setelah Tines berpulang, Ramadan kembali ke Indonesia bersama kedua anaknya. Ia ingin menagih honor kepada Soeharto, tetapi Dwipayana sudah meninggal dunia. Sekretaris Militer Presiden Syaukat Banjaransari menyarankannya agar menulis surat langsung kepada Presiden. Beberapa hari kemudian datang telepon dari Kolonel Wiranto, ajudan Presiden Soeharto. Ia diminta datang ke Jl. Cendana. Bersama Gumilang ia datang, masuk ke halaman, langsung diberi mobil Honda Accord warna merah. Mobil baru dengan jok terbungkus plastik. Namun Soeharto tidak menemuinya. Mereka hanya bertemu di depan garasi dan terbatas dengan Wiranto.

Akhir Hayat

Pada hari-hari terakhirnya, Ramadan kembali menekuni kegemarannya di masa lalu, melukis. Salah satu tema lukisan kesayangannya adalah rangkaian pegunungan di belakang rumahnya di Cape Town.

Ia meninggal dunia tepat pada peringatan hari kelahirannya yang ke-79 tahun. Ia meninggalkan istrinya, Salfrida, dua orang putra dari Tines, Gilang dan Gumilang, dan lima orang cucu.

Ramadan pernah mendapatkan sejumlah penghargaan, antara lain "Hadiah Sastra ASEAN" (Southeast Asia Write Award) pada 1993. Pada tahun 2001 ia diangkat menjadi anggota kehormatan Perhimpunan Sejarahwan Indonesia. Selain itu Ramadan juga merupakan salah seorang anggota Akademi Jakarta.

Karya-Karya Ramadan

Biografi

  • Kuantar ke Gerbang: kisah cinta kisah cinta Ibu Inggit dengan Bung Karno (1981)
  • Gelombang hidupku: Dewi Dja dari Dardanella (1982)
  • Soeharto pikiran, ucapan, dan tindakan saya: otobiografi (1988)
  • A.E. Kawilarang - untuk Sang Merah Putih: pengalaman, 1942- 1961 (1988)
  • Bang Ali demi Jakarta (1966-1977): memoar (1992)
  • Hoegeng, polisi idaman dan kenyataan: sebuah autobiografi (ditulis bersama dengan Abrar Yusra) (1993)
  • Soemitro, mantan Pangkopkamtib: dari Pangdam Mulawarman sampai Pangkopkamtib (1994)
  • Gobel, pelopor industri elektronika Indonesia dengan falsafah usaha pohon pisang (1994)
  • Sjamaun Gaharu, cuplikan perjuangan di daerah modal: sebuah autobiografi (ditulis bersama dengan Hamid Jabbar, Sjamaun Gaharu) (1995)
  • D.I. Pandjaitan, pahlawan revolusi gugur dalam seragam kebesaran: biografi (ditulis bersama dengan Sugiarta Sriwibawa) (1997)
  • Demi bangsa - liku-liku pengabdian Prof. Dr. Midian Sirait: dari guru SR Porsea sampai Guru Besar ITB (ditulis bersama dengan Sugiarta Sriwibawa) (1999)
  • H. Priyatna Abdurrasyid - dari Cilampeni ke New York: mengikuti hati nurani (2001)
  • H. Djaelani Hidajat - dari tukang sortir pos sampai menteri: sebuah otobiografi (ditulis bersama dengan Tatang Sumarsono) (2002)
  • Pergulatan tanpa henti - Adnan Buyung Nasution (dibantu dituliskan oleh Ramadan K.H. dan Nina Pane) (2004)

Novel

  • Rojan revolusi (1971)
  • Kemelut hidup (1977)
  • Keluarga Permana (1978)
  • Ladang Perminus (1990)

Puisi

  • Priangan si Djelita: kumpulan sandjak (1956)
  • Am Rande des Reisfelds: zweisprachige Anthologie moderner indonesischer Lyrik / herausgegeben von Berthold Damshäuser und Ramadan K.H. aus dem indonesischen übersetzt von Berthold Damshäuser = Pinggir sawah : antologi dwibahasa puisi Indonesia modern / disunting bersama dengan Berthold Damshäuser, diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman oleh Berthold Damshäuser (1990)
  • Gebt mir Indonesien zurück! - Anthologie moderner indonesischer Lyrik / herausgegeben von Berthold Damshäuser und Ramadan K.H.; aus dem Indonesischen übersetzt von Berthold Damshäuser, mit einem Vorwort von Berthold Damshäuser (1994)
  • Jakarta & Berlin dalam cermin puisi: antologi dwibahasa dengan puisi mengenai Jakarta dan Berlin (2002)
  • Antologie Bilingue de la Poesie Indonesienne Contemporaine: antologi puisi dwibahasa Indonesia-Prancis.

Terjemahan

  • Yerma: drama tragis dalam tiga babak dan enam adegan oleh Federico García Lorca (1956)
  • Romansa Kaum Gitana oleh Federico García Lorca (1973)
  • Rumah Bernarda Alba oleh Federico García Lorca (1957)

Lain-lain

  • Bola Kerandjang - liputan Olimpiade Helsinki (1952) - bukunya yang pertama
  • Syair Himne Asian Games Jakarta (1963)
  • Menguak duniaku - kisah sejati kelainan seksual (ditulis bersama dengan R. Prie Prawirakusumah) (1988)
  • Amatan para ahli Jerman tentang Indonesia, disunting bersama dengan Berthold Damshäuser (1992)
  • Rantau dan renungan: budayawan Indonesia tentang pengalamannya di Perancis (1992)
  • Transmigrasi: harapan dan tantangan (1993)
  • Dari monopoli menuju kompetisi: 50 tahun telekomunikasi Indonesia sejarah dan kiat manajemen Telkom (ditulis bersama dengan Sugiarta Sriwibawa, Abrar Yusra) (1994)
  • Mochtar Lubis bicara lurus: menjawab pertanyaan wartawan (1995)
  • Pers bertanya, Bang Ali menjawab (1995)
  • Rantau dan Renungan I: budayawan Indonesia tentang pengalamannya di Perancis (penyunting bersama dengan Jean Couteau, Henri Chambert-Loir) (1999)
  • Kita banyak berdusta - wawancara pers dan tulisan Laksamana Sukardi (penyunting bersama dengan Endo Senggono) (2000)
  • Peran historis Kosgoro (ditulis bersama dengan Sugiarta Sriwibawa) (2000)