Sabtu, 10 April 2010

Hukum Pelacur (Puisi)

Ketika Hukum hanya Aib dan Benalu
Sebut saja ia Pelacur Jalanan
Digadai Murah demi Rupiah
Mengisi nafsu Kantong-kantong Serakah


Ketika Hukum tak lagi punya Rasa Malu
Sebut saja ia Orang Gila
Ditelanjangi pun tak jadi mengapa
Terbahak-bahak dibalik Derita
Sembunyi Dusta dibalik Berita

Ketika Hukum tak lagi Bersuara
Sebut saja ia Bisu tak berguna
Disumpal Sampah Keadilan yang Mati
Hanya mainan Manusia tak Berbudi



(Karya : Penyair Cinta)

Aku (Cerpen : Karya Mayrane)

Rumah kecil di pinggir jalan yang dihiasi sedikit tanaman di halaman depan adalah rumah hasil jerih payahku selama 10 tahun bekerja. Sebelumnya aku mengontrak di rumah petak milik Pak Ali di daerah Ciputat, Tangerang. Aku sudah bekerja sejak lulus SMA. Tinggal sendirian tidak membuatku takut. Malah memberiku ruang ketenangan setelah penat seharian bekerja.
Rumah yang baru 1,5 bulan kutempati ini berdiri di samping sebuah rumah milik Ibu Rahma. Sebenarnya ada satu rumah yang membuatku penasaran. Rumah itu terletak persis di sebelah rumah ibu Rahma. Bukan karena rumah itu besar dan megah, tapi lebih karena penghuninya yang sampai saat ini belum ku ketahui siapa. Setiap malam kumendengar alunan piano yang indah setiap kali kumelintasi rumah itu sepulang bekerja.

"Apa sih maunya Pak Herman? Setiap hari, ada saja alasannya untuk memarahiku! Apa-apa aku. Semua salah aku. Memang hanya aku saja yang bekerja untuknya!", batinku sesampainya di rumah.
Kubaringkan tubuhku yang basah dengan peluh di atas tempat tidur. Aku pun tertidur dengan lelap. Melupakan sejenak hal-hal yang tidak menyenangkan hari ini dan menyambut hal-hal yang tidak menyenangkan esok hari.
"Apa kamu sudah bosan bekerja disini!", bentak Pak Herman, "kerjaanmu nggak pernah beres! Selalu salah!"
"Maaf Pak, tapi semua surat yang datang pagi ini sudah saya letakkan di atas meja Bapak."
"kalau sudah kamu letakkan di meja saya, pasti ada di sini!" bentaknya sambil memukul meja yang berada persis di sampingnya.
"Iya Pak, akan saya carikan surat-surat itu."
"ya sudah! Apa yang kamu tunggu? Cari sekarang!"
Aku pun meninggalkan ruangan Pak Herman. Mencari surat-surat yang ntah bagaimana bisa lenyap dari meja Pak Herman. Padahal aku yakin sudah meletakkannya di sana pagi ini.
"Kenapa? Dibentak Pak Herman lagi? Gara-gara surat-suratnya nggak ada di mejanya?" Tanya Bella
"Dari mana kamu tahu tentang surat-surat itu?" tanyaku "jangan-jangan kamu yang mengambilnya?!"
"Mungkin ya, mungkin tidak.."
"Kembalikan surat-surat itu sekarang!"
"Wu… aku takut.."
"Kembalikan surat-surat itu SEKARANG!"
"Aku akan mengembalikannya, tapi jauhi Pak Herman!"
"Terserah, kembalikan surat-surat itu!"
"Nih ambil!" sambil melempar surat-surat itu ke lantai
Heran. Kenapa Bella bisa cemburu kepadaku? Bukankah setiap hari aku selalu dibentak oleh Pak Herman. Apa karena aku sekretarisnya? Lagipula kalau dia mau, ambil saja aku tidak peduli.
Setiap sore ibu-ibu yang tinggal di sekitar rumahku berkumpul memperbincangkan hal-hal yang tidak penting yang sebenarnya bukan urusan mereka. Sore ini, ketika pilang bekerja, kumendengar mereka membicarakan kematian ayahku yang mendadak ketika pulang bekerja. Mereka menduga aku yang meracuninya. Bagaimana mungkin aku yang melakukannya. Pada saat itu aku sedang berada di kantor. Lalu ku maki saja mereka semua. Mereka semua lari dan selama tiga hari berikutnya, tanpa komando tidak ada perkumpulan tidak berguna itu. Memang hubunganku dengan ayah tidaklah baik. Kami kerap kali bertengkar. Namun aku toh, aku tidak membuangnya atau menitipkannya di panti jompo. Aku ingin berbakti kepadanya, karena aku mencintainya sebagai satu-satunya orang tua yang aku kenal.
Menjadi anak tunggal, membuatku menyukai anak-anak. Tapi entah sejak kapan aku jadi membenci anak-anak. Mereka selalu membuatku kesal. Mencabuti tanaman yang kupelihara dengan baik. Bahkan mereka sering melempari rumahku dengan batu atau kerikil, yang terkadang membuat kaca rumahku pecah. Dan ketika kuminta ganti rugi kepada orang tua mereka. Semuanya bergeming. Aku yakin pasti didikan orang tua mereka yang suka mencampuri urusan orang lain.
Hanya ibu Rahma yang mengertiku. Ia adalah ibuku. Bukan ibu kandung karena aku tak mengenal ibu. Ayah tidak pernah menjawab setiap kali ku bertanya tentang ibu. Malah seringkali menyulut api pertengkaran antara kami. Maka sampai sekarang aku tidak ibu. Ibu Rahma tempatku mencurahkan segalanya. Sampai hari ini.
"Nak, Ibu dipindahtugaskan ke daerah Bantul Jogjakarta. Ibu berangkat minggu depan. Dan rumah ini akan ibu jual, besok penghuni baru akan datang melihat rumah ini."
"kok, begitu tiba-tiba? Apa Ibu akan meninggalkanku sendirian disini? Apa Ibu sudah tidak sayang lagi padaku?"
"Bukan begitu Nak. Kamu tahu, Ibu bekerja di lembaga sosial dan harus siap di tempatkan dimana saja. Ibu juga sudah tidak punya siapa-siapa selain kamu. Ibu janji akan sering menghubungimu dan datang untuk menjengukmu disini"
Dengan berat hati kumelepas kepergian Ibu Rahma. Dia yang selalu membelaku di saat ku terpojok oleh keadaan. Mengangkatku saat ku terjatuh. Mengingatkanku di saat ku salah. Namun kupegang janji Ibu Rahma.
Seminggu kemudian, sepulang kerja, tidak seperti biasanya, aku ingin menonton siaran televisi. Di salah satu stasiun televisi swasta menyiarkan berita kecelakaan lalu lintas di daerah pantura. Sebuah bis terguling ke pinggir jalan dan tidak ada seorang penumpang pun yang selamat. Dan salah satu korbannya adalah Ibu Rahma.
Entah skenario apa yang Tuhan berikan padaku untuk ku perankan. Mungkin Tuhan tidak senang membuatku bahagia. Semua kebahagiaanku dirampas secara paksa. Laksana seorang anak yang sedang bermain dengan mainan barunya lalu dirampas begitu saja. Kepergian Ibu Rahma sangat membuatku terpuruk. Ku tak menyangka. Aku jatuh sakit. Tidak masuk kerja selama 2 hari. Tidak ada seorang pun dating menjenguk. Kecuali Pak Herman yang menelpon menanyakan keadaanku dan kapan aku bisa kembali bekerja. Ku yakin, dia pasti kehilangan boneka yang biasa ia marahi.
Sudah 2 hari aku tergeletak. Perutku juga belum terisi apapun. Maka ku paksakan diri untuk keluar membeli makanan. Ketika melintas rumah besar itu, ku melihat seorang pemuda sedang duduk di kursi teras rumah memegang selembar kertas dan pensil. Ku amati pemuda itu. Yang membuatku tertarik bukanlah paras rupawannya tapi apakah dia tidak merasa bahwa aku dari tadi mengamatinya. Tiba-tiba pensilnya terjatuh tergeletak di bawah kursi. Pemuda itu terlihat kesulitan mencari pensilnya, padahal sangat mudah menemukan pensilnya karena terletak persis di bawah kursi dekat kakinya. Apa mungkin dia buta? Maka ku putuskan untuk menghampirinya. Kebetulan pagar rumahnya tidak terkunci.
" Ada yang bisa saya bantu?" Tanyaku
"Iya, tolong carikan pensil saya. Tadi terjatuh"
kuambil pensil itu dan menyodorkan pensil itu kepadanya, namun ia bergeming.
"Apa sudah ketemu?" tanyanya
"Iya, ini pensilnya"
Ia menengadahkan tangannya seperti orang minta-minta. Lalu kuberikan pensil itu kepadanya. Ternyata benar dia buta.
Kami pun berkenalan. Aku merasa cocok dengannya. Rupanya dia yang setiap malam memainkan piano. Aku tak menyangka ia buta sejak lahir, karena ia pandai melukis dan lukisan-lukisannya begitu real. Seperti ia pernah melihatnya secara langsung.
Aku mengunjunginya setiap pulang kerja. Kami ngombrol, saling curhat dan semakin dekat. Ibu-ibu menggosipkanku wanita murahan yang mengejar pemuda kaya. Aku tidak peduli. Sampai saat ini aku tidak tahu mengapa mereka sangat membenciku. Apa aku pernah berbuat salah kepada mereka?
Pemuda itu bercerita tentang kerajaan impiannya yang indah dan damai. Ia pun memperlihatkan lukisan kerajaan itu. Kerajaan yang tidak akan lagi ada orang yang membicarakan kejelekan orang lain yang memanaskan telinga. Yang mengejutkan, Ia memintaku menjadi permaisuri kerajaannya.
Ia memberi tahuku sebuah rahasia bagaimana membangun kerajaan itu. Semua harus dibumihanguskan. Setelah itu baru dibangun kerajaan yang kuat, indah dan damai. Hanya itu jalan satu-satunya katanya.
Malam itu otakku dipenuhi impian akan kerajaan indah dimana aku menjadi permaisurinya. Ketika jam berdentang 12 kali, aku bangun. Aku mempersiapkan semua yang dibutuhkan untuk membangun kerajaan yang indah. Kutumpahkan minyak tanah yang ada di dalam kompor lalu kunyalakan api. Api semakin lama semakin besar, membakar habis rumahku. Aku memandanginya dari luar rumah. Api dengan cepat merembet dan membakar rumah-rumah yang lainnya. Semua orang sibuk memadamkan api, namun api sudah membesar.
"Masih ada orang di dalam rumah itu!" teriak seorang warga sambil menunjuk rumah pemuda rupawan itu.
Seketika itu juga kuteringat pemuda itu tidak bisa melihat. Lalu kuterjang api yang berkobar dan masuk ke dalam rumah pemuda itu.

SI JAGO MERAH BERAKSI

Semalam terjadi kebakaran pada pukul 12.30 WIB. Api diduga berasal dari rumah salah seorang warga. Api dengan cepat menyebar membakar puluhan rumah. Dalam kebakaran tersebut ditemukan dua jasad. Menurut saksi mata salah satu jasad adalah seorang pemuda dan yang satunya lagi perempuan. Perempuan itu masuk menerjang api yang berkobar ketika ada yang berteriak masih ada orang di dalam rumah yang terbakar. Kini kedua jasad tersebut sedang diautopsi. Sampai berita ini turun belum diketahui identitas kedua korban…..
Aku membaca Koran pagi ini sambil tersenyum.


(Karya : Mayrane)

Kedalaman Hatimu (Puisi: Karya Rini Setiani)

Biar ku lihat di kedalaman hatimu

Apakah masih ada warna merah jambu
Atau sudah pekat merah itu

Biar aku tengok di balik layarmu
Masihkah ada lakon yang palsu
Bersandiwara merangkai rindu
Menari berputar dan meniru

Bawakan aku setangkai mawar
Biarkan aku berkata-kata
Pada cinta yang telah tiada
Dan berakhir begitu lara...

Rela...
Jika kau bahagia
Tapi izinkan aku memandangmu
Di kedalaman hati


(Oleh : Rini Setiani)

Pergi Tanpa Makna (Puisi: karya Rini Setiani)

Kenapa pergi tanpa kata

Apakah akan selamanya

Biarkan aku menunggu senja

Melihat mega yang jingga warnanya


Kenapa pergi tanpa makna

Apakah hanya puing rapuh

Yang kau tinggalkan

Bersama ilalang


Bumbu desa menyeringai ramah

Diantara pelayan dan lukisan indah

Kau terpaku dan menatap sayu

Mengucap harap merangkai rindu


O..hati-hati yang terpaut sunyi

Jangan berlari

Iznkan aku memegangmu bak pasir

Biar hatimu tak berkibar di tebing lain


(Oleh: Rini Setiani)

Jumat, 02 April 2010

Dari Cerah ke Gelap Gulita (Puisi)

Perahu mendayung, seribu orang berduyun
Menatap cerah malam
Sinar rembulan terang
Berjuta bintang gemerlapan
Semuanya bertumpu bak daun lembayung

Di sini irama syahdu berkumandang
Di sana berjuta tangis menyambar
Di sini bisikan semu berkiprah
Di sana jeritan derita meronta kesakitan

Dunia kini semakin tua
Semakin lama bumi menjadi punah
Sang penghuni tak lagi peduli entah mengapa
Hanya penindasan bergelegar,
Bak peperangan sedang bergelirya

Tuhanku yang Bijaksana
Tumpaskan segala angkara
Yang menumpu di bumi belantara
Kembali kasih nan sejahtera
Kembali damai bersama

Pancarkan senyum di seluruh bumi persada
Buat aku, kami, dan mereka
Semuanya...


(Oleh: Imamul Hafidin, Legoso)

Saat Kau Terbaring (Puisi)

Ketika mata berhiaskan kelabu menghitam

Tak cukup raga mengayuh mutiara kasih ilahi Robbi

Ceriamu adalah rasa dalam bahagia,
Senyummu adalah setitik manis indah dunia
Dan aku tersipu karena itu semua

Tuhanmu telah melengkapimu dengan cinta
Cinta yang sulit dimaknai oleh jiwa,
Dan raga yang kuat lagi sehat

Lupakan nikmat yang sungguh sesaat
Hingga engkau kan tersadar
Bahwa dunia begitu lezat dan nikmat
Ketika engkau menyisakan tubuhmu dalam sekarat


(Oleh: Penyair Cinta)

Mereka adalah Sahabat Kita (Puisi)

Mencari sebuah arti

Menghiasi hati nurani
Membersihkan jiwa yang suci
Melangkah menjadi insan sejati

Mereka adalah sebuah generasi
Yang terlempar tanpa arah pasti
Berjuang demi sesuap nasi
Bertahan menjadi insan miliki harga diri

Ya, mereka adalah sahabat kita
Insan-insan yang patut didamba
Tak pernah lelah untuk berjasa
Demi keluarga yang sungguh berharga

Meski lelah dan penuh nestafa
Namun mereka berkarya untuk bangsa
Hargai mereka kawan...
Karena mereka adalah sahabat kita


(Oleh: Rini Setiani)

Hati yang Tergores (Puisi)

Madu ini telah punah rasa manisnya

Teresap ke dalam jiwa bisu,
Melunglai keharibaan nafsu
Tanpa memahami arti suci cinta itu

Yang selama ini kau renggut adalah martabatku
Harkat jiwaku
Ketulusan cinta
Bahkan satu nama ialah harapanku

Betapa perih hati ini
Setelah sekian lama kau sakiti
Kau gores penuh luka
Sulit dapat terobati

Kapan kau peduli dengan ini
Tiada harap lagi
Dapat kembali sebuah cinta sejati
Di pangkuan hati seorang abdi

Tuhan...
Hanya Engkaulah tumpuanku
Pelipur laraku
Arahkan hamba pada kesabaran
Jalan menuju kehidupan yang terang
Jalan yang Engkau Ridhai


(Oleh: Imamul Hafidin)

Tuhan, Ke mana Harus Ku Mengadu? (Puisi)

Tuhan, bersandar ke mana aku ini..?

Dengan cahaya-Mu selalu menyinari hati
Bersama-Mu aku mengadu
Hati yang resah ini

Di mana aku ini..?
Menangis tanpa henti
Ke mana harus berlari..?
Menuju lorong yang tak pasti

Ke mana harus mengadu..?
Pada-Mu atau pada diriku..?
Sehari lima kali aku mengadu pada-Mu
Tak pernah berhenti
Tak pernah menyerah

Hati bertanya ke mana aku mengadu..?
Bersama senda gurau-Mu aku menunggu
Tuhan,
Bersama risalah hati aku mengabdi
Pada-Mu Tuhan Yang Maha Suci


(Oleh: Tole-Saleman)

Sebuah Nama (Puisi)

Ku berjalan menelusuri titian panjang

Ku terjebak diantara tebing-tebing terjal
Lalu terperosok pada jurang curam
Ku meratap diantara semak-semak ilalang

Teriakan itu memanggil sebuah nama
Nama yang selama itu entah ada di mana
Nama yang terpatri dalam hati
Dan menghujam dalam jiwa nurani

Harapan akan sebuah pertolongan
Dan keluar dari jurang kenistaan
Lalu mendaki kembali tangga kemuliaan
Bersama sebuah nama yang menjadi sebuah dambaan

Oh... Nama itu tak pernah ku lupa meski sesaat
Sebuah nama yang Agung
Sebuah nama yang Luhur
Sebuah nama... ya.. sebuah Nama


(Oleh: Rini Setiani)

Sahabat (Puisi)

Sahabat...
Hatiku lemah menghadapi hidup ini
Ego mengalahkan keteguhanku
Membunuh ikrar mulia ilmu

Sahabat...
Jawaban apa yang hendak kau beri di sana
Tuk karibmu yang dirundung durja?

Hayalkah atau binasakah?
"do'a harapan sesungguhnya"


(Oleh: Asminah)

Cita Siswa (Puisi)

Di gelap kelam hadirmu
Jiwaku terusik penat raipmu
Menyelinap dalam kabut kalbuku
Meronta terpenjara dalam perasingan

Embun pagi...
Teteskan kejernihanmu atas kekeruhanku
Sejukkan ruh ambisiku
Padamkan kobar amarahku
Menjelma menjadi secuil teguh asaku

Angin teduh...
Kirimkan kabar cinta untuk hariku
Teguhkan ikrar mulia itu
Agar tidak goyah
Seiring sirnanya waktu


(Oleh: Asminah)

Tersurat Lengkap (Puisi)

Malam kelam menghampiriku
Ku terpaku laju kepastianmu

Harap....
Wujudkanlah kehendak jiwa
Yang melarat
Untuk menggapai hidup bermartabat

Lihat niat tertancap rapat-rapat
Tersembunyi dalam kalbu kuat
Hanya satu yang tercatat
"Niat ikhlas terungkap oleh Sang Kholiq Yang Rahmat"

(Oleh: Asminah)

Kamis, 01 April 2010

Biografi Tokoh Sastra Indonesia (Adinegoro)

Adinegoro lahir di Talawi, Sumatera Barat, pada tanggal 14 Agustus 1904. Nama aslinya sebenarnya bukan Adinegoro, melainkan Djamaluddin gelar Datuk Madjo Sutan. Ia adalah adik sastrawan Muhammad Yamin. Mereka saudara satu bapak, tetapi lain ibu. Ayah Adinegoro bernama Usman gelar Baginda Chatib dan ibunya bernama Sadarijah, sedangkan nama ibu Muhammad Yamin adalah Rohimah.
Adinegoro terpaksa memakai nama samaran karena ketika bersekolah di Stovia ia tidak diperbolehkan menulis. Padahal, pada saat itu keinginannya menulis sangat tinggi. Maka, dipakainyalah nama samaran Adinegoro tersebut sebagai identitasnya yang baru. Ia pun bisa menyalurkan keinginannya untuk mempublikasikan tulisannya tanpa diketahui orang bahwa Adinegoro itu adalah Djamaluddin gelar Datuk Madjo. Oleh karena itulah, nama Adinegoro sebagai sastrawan lebih terkenal daripada nama aslinya, Djamaluddin.
Adinegoro sempat mengenyam pendidikan selama empat tahun di Berlin, Jerman Timur. Ia mendalami masalah jurnalistik di sana. Selain itu, ia juga mempelajari masalah kartografi, geografi politik, dan geopolitik. Tentu saja, pengalaman belajar di Jerman itu sangat banyak menambah pengetahuan dan wawasannya, terutama di bidang jurnalistik. Adinegoro, memang, lebih dikenal sebagai wartawan daripada sastrawan.
Ia memulai kariernya sebagai wartawan di majalah Caya Hindia, sebagai pembantu tetap. Setiap minggu ia menulis artikel tentang masalah luar negeri di majalah tersebut. Ketika belajar di luar negeri (1926—1930), ia nyambi menjadi wartawan bebas (freelance journalist) pada surat kabar Pewarta Deli (Medan), Bintang Timur, dan Panji Pustaka (Jakarta).
Setelah kembali ke tanah air, Adinegoro memimpin majalah Panji Pustaka (pada tahun 1931. Akan tetapi, ia tidak bertahan lama di sana , hanya enam bulan. Sesudah itu, ia memimpin surat kabar Pewarta Deli di Medan (1932—1942). Ia juga pernah memimpin Sumatra Shimbun selama dua tahun. Kemudian, bersama Prof. Dr. Supomo, ia memimpin majalah Mimbar Indonesia (1948—1950). Selanjutnya, ia memimpin Yayasan Persbiro Indonesia (1951). Terakhir, ia bekerja di Kantor Berita Nasional (kemudian menjadi KBN Antara). Sampai akhir khayatnya Adinegoro mengabdi di kantor berita tersebut.
Dua buah novel Adinegoro yang terkenal (keduanya dibuat pada tahun 1928), yang membuat namanya sejajar dengan nama-nama novelis besar Indonesia lainnya, adalah Asmara Jaya dan Darah Muda. Ajip Rosidi dalam buku Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia (1982) mengatakan bahwa Adinegoro merupakan pengarang Indonesia yang berani melangkah lebih jauh menentang adat kuno yang berlaku dalam perkawinan. Dalam kedua romannya Adinegoro bukan hanya menentang adat kuno tersebut, melainkan juga dengan berani memenangkan pihak kaum muda yang menentang adat kuno itu (yang dijalankan oleh pihak kaum tua).
Di samping kedua novel itu, Adinegoro juga membuat novel lainnya, yaitu Melawat ke Barat, yang merupakan kisah perjalanannya ke Eropa. Kisah perjalanan ini diterbitkan pada tahun 1930.
Selain itu, ia juga terlibat dalam polemik kebudayaan yang terjadi sekitar tahun 1935. Esainya, yang merupakan tanggapan polemik waktu itu, berjudul "Kritik atas Kritik" terhimpun dalam Polemik Kebudayaan yang dieditori oleh Achdiat Karta Mihardja (1977). Dalam esainya itu. Adinegoro beranggapan bahwa suatu kultur tidak dapat dipindah-pindahkan karena pada tiap bangsa telah melekat tabiat dan pembawaan khas, yang tak dapat ditiru oleh orang lain. Ia memberikan perbandingan yang menyatakan bahwa suatu pohon rambutan tidak akan menghasilkan buah mangga, dan demikian pun sebaliknya.

Karya-karya Adinegoro

Novel:

Darah Muda. Batavia Centrum: Balai Pustaka. 1931
Asmara Jaya. Batavia Centrum: Balai Pustaka. 1932.
Melawat ke Barat. Jakarta: Balai Pustaka. 1950.

Cerita pendek:

Bayati es Kopyor". Varia. No. 278. Th. Ke-6. 1961, hlm. 3—4, 32.
"Etsuko". Varia. No. 278. Th. Ke-6. 1961. hlm. 2—3, 31
"Lukisan Rumah Kami". Djaja. No. 83. Th. Ke-2. 1963. hlm. 17—18.
"Nyanyian Bulan April". Varia. No. 293. Th. Ke-6. 1963. hlm. 2-3 dan 31—32.