Minggu, 31 Januari 2010

Pelajar Jalanan (Puisi : Aditya Widya Putri)

Tak…Tok…Tak…Tok…
Berhenti di sebelahku, sepasang kaki berseragam berdiri mengangkang gagah dan garang
Dengan sorot matanya yang dingin tanpa makna,
Darahku berdesir…
Jantungku pun berdegung kencang…

Sesaat kuteringat cerita kakek
Dengan derap sepatu larasnya menggetarkan hati setiap penjajah
Siapakah aku ini?
Penjajahkah? Penjahatkah? Atau narapidanakah?
Tidak! Bukan!
Aku bukanlah siapa-siapa…
Aku hanyalah seorang anak manusia yang ingin mendapatkan hak, hak atas pendidikan

Sayup-sayup terdengar suara ibu guru
Yang bercampur debu dan asap-asap pabrik rokok
Seperti alunan musik pengantar kematian
Kematian akan Dunia Pendidikan
Kematian akan masa depan
Yang telah direnggut oleh tangan-tangan para setan


(Karya : Aditya Widya Putri)

Amanat Rakyat untuk Presiden (Puisi : Aditya Widya Putri)

Yang Mulia Presiden Negeri ini
Yang Mulia pengendali Republik ini
Dengarkanlah suara hati kami
Suara nurani suci anak Negeri

Berat beban yang mesti disandang
Ketika amanat harus diserahkan, diantara kata "ya" dan kata "tidak"
Amanah harus tetap diberikan
Meski dengan syarat iringan doa
Semoga amanatku tak terbuang di tong sampah
Yang Mulia Presiden Nusantara

Yang Mulia pengendali Republik Indonesia
Keputusan tlah ditetapkan
Pilihan tlah dijatuhkan
Kepadamulah amanah kami berikan
Malam menjelang pagi, pesta tlah usai
Kini saatnya kerja bakti, berbenah diri menyambut sang mentari

Yang Mulia Presiden Negeri ini
Yang Mulia pengendali Republik ini
Banyak benang kusut yang mesti diurai
Yang takkan selesai hanya dengan wajah rupawan dan senyum manis
Banyak hulubalang lapar,yang selalu dijajah keinginan dan kesentausaan
Sementara keyang pun tak pernah kekal.
Kita memang sama-sama lapar, tapi laparnya dan lapar kami jauh berbeda

Yang Mulia Presiden Negeri ini
Yang Mulia pengendali Republik ini
Kami adalah generasi pengganti
Di tangan kamilah kelak hitam putihnya Negeri ini
Kami perlu diisi dengan semua yang berarti
Bersihkan dunia pendididkan, itulah dunia kami
Agar kelek bias mewarnai Negeri ini
Sehingga enak dipandang dan nyaman didiami

Yang Mulia Presiden Nusantara
Yang Mulia pengendali Republik Indonesia
Mentari telah sepenggalah, belum satu pun pekerjaan terselesaikan
Sementara waktu terus berjalan, berderet persoalan menunggu uluran tangan
Berbusa pla mulut kami menceritakan
Ingatlah kami para pemberi amanah
Orang bilang "Suara rakyat suara Tuhan"

Yang Mulia Presiden Nusantara
Yang Mulia pengendali Republik Indonesia
Bila saatnya mentari condong ke barat dan amanah harus dikembalikan,
Kami berharap impian kan jadi kenyataan
Tiada lagi bayi lahir menyandang hutang jutaan
Tiada lagi generasi pembodohan
Tiada lagi tikus berdasi berkeliaran
Dan Tiada lagi rakyat kelaparan

Doa akan terus kami panjatkan,
Panji perjuangan kan terus kami kibarkan
Dan Jihad pun akan terus kami tegakkan!


(Karya : Aditya Widya Putri)

Negeri Carut Marut (Puisi : Aditya Widya Putri)

Bunda Pertiwi……
Dimanakah kau Bunda Pertiwi?
Bunda Pertiwi, ada apa lagi ini?
Kenapa Bunda mesti sembunyi?
Jangan lagi Bunda sembunyi
Teteskanlah air mata darahmu di sini
Mari kita tatap wajah negri ini

Lihatlah……….
Negeri yang konon punya gelar "Zamrud Khatulistiwa"
Negeri yang konon "Gemah Ripah Loh Jinawi"
Negeri yang konon "Berbudaya Damai"
Negeri yang konon menyunggingkan snyum manisnya
Dongeng sebelum tidurkah semua itu?
Atau cerita yang pernah Negeri ini alami?

Lihatlah………
Negeri ini sekarang penuh tanda Tanya,Tanya yang tak pernah ada jawabnya
Ambon, Poso, Aqceh anak Negeri tertawa bermandikan darah saudara sendiri
Menari bergenderang tengkorak sesama
Lihatlah……..
Dunia pendidikan tlah dikangkangi
Generasi bontot menggapai-gapai bangku sekolah
Yang bagi mereka hanyalah sebuah impian
Impian yang tak pernah jadi kenyataan

Lihatlah…….
Pawang Negeri ini berstelan jas korupsi
Mengulum toa bersuara tanpa arti
Berlipstik moral, pembungkus kebusukan hati

Lihatlah………
Tontonan jadi tuntunan, tuntunan jadi tontonan
Yang membuat Negeri ini kelam tanpa impian

Murka Allah pun tlah ditunjukkan
Nabire, Jogja, Padang bergetar
Lion Air dihempaskan, dan Aceh pun porak-poranda
Banjir darah dan air mata
Negeri ini berselimut bencana

Bunda Pertiwi bimbinglah kami dalam doa
Hanya sepotong doa yang aku punya
Semoga doaku tak terselip di saku celana atau terhalang oleh mega
"Ya Allah di satu sisi bukalah Hidayah bagi mereka, di sisis lain hentikanlah murkamu, karena Negeri ini tlah jadi Negeri Carut Marut."


(Karya : Aditya Widya Putri)

Dalam Tasbih Cinta (Puisi)

Setangkup harap merenda asa

Menata qalbu ikhlas terjaga
Merangkai aral menapak langkah di sana

Sedalam pinta seindah doa
Untuk Kau beri sebuah jawabnya

Pada sunyi dikala sendiri
Pada arti mimpi kudaki

Bersandar jiwa di ruang hati
Bersama cinta tulus menanti
Sampai tiba kudapati
Setangkai bunga seharum melati
Dalam tasbih cinta suci

{Penyair Cinta : 31 Januari 2010}

Jumat, 29 Januari 2010

Sampai Kunikmati Sore (Puisi)

Sukmaku mengering,

cahaya pagi malu menyingsing
Benamkan raga diam terasing,
irama cinta jemu mengiring

Pikirku tak sama dengan dunia,
biarlah senyum tetap terjaga
Dalam nafas seindah doa,
peluk aku sepenuh jiwa

Damaikan amarah redalah durja
Sampai kunikmati sore di sana,
setenang senja merayuku manja


Penyair Cinta : 29 Januari 2010

Kamis, 21 Januari 2010

Tinggalkan Rindu (Puisi)

Seperti bayangmu kian mendekat

Hadirkan senyum dalam ruang hangat
Untuk kudekap sepenuh hasrat
Tinggalkan rinduku semakin berat

Seperti jiwaku yang riang
Menyambut sepucuk aroma siang
Untuk kutuntun pada ombak menerpa karang
Beri aku sederas embun kasih sayang

Seperti saat kusendiri
Menyulam jaring cinta suci
Takkan pernah untuk terbagi
Meski harus kunikmati sepi



Penyair Cinta: {Sudut Kantor, 21 Jan 2010}

Rabu, 20 Januari 2010

Beri Aku Sedikit Saja (Puisi)

Hening malam terampas kelam

Di kaki bukit lalu trdiam
Nikmati telaga karam
Setengah jiwaku yang dalam

Sepasang cupid cinta melanda
Bawa degup rindu terjaga

Untuk rembulan tersenyum manja
Beri untukku sedikit saja, walau hanya kudapati sisa

Rengkuh aku dalam mimpi
Jangan biarkan rinduku menepi
Hingga kukecup esok nanti
Bersama seteguk embun pagi

(Penyair Cinta : Kostan, 20 Januari 2010)



Redalah Wahai Hujan (Puisi)

Setegun udara menyapa raga
Tangis hujan tak lagi mendera
Tinggallah angin merasuki sukma
Hadirkan beku di ruang dada

Mengapa hari ini sungguh kelabu
Rindu menatap langit biru
Mungkin nurani telah layu
Tak terdengar celoteh bradu

Betapa jengah kupandang dari jendela
Lagi-lagi hanya embun di kaca

Mungkin harap terlalu mengada
Sudilah untuk Engkau terima
Pinta ini sedrhana saja
Beri aku sisa mentari di langit sana

Penyair Cinta: {Ruang Kantor-20 Jan 2010}

Senin, 18 Januari 2010

Ketika Malam (Puisi)

Ketika malam menjelang fajar

Beri aku sedikit bingar
Untuk kutukar langit hitam, dengan kilauan cahaya pijar
Temaniku lewat kelakar, mengisi ruang jiwaku bersandar

Bawalah rindu ter-untuk dia, lantunkan syair cinta terhampar
Peluk aku dalam mimpimu, agar tak jemu kutatap sudut kamar
Hingga nanti kutemui pagi, sajikan seteguk embun segar


{Penyair Cinta : Cikupa, 18 Jan 2010}

Kamis, 07 Januari 2010

Sajak-Sajak David Krisna Alka (Episode-II)

Kabar

Selamat tinggal debar
Semoga kabar
Tak seperti ranjau meracau
Di negeri nan risau

Bila besok pagi terdengar
Kicau burung garuda gemetar
Bisikkanlah padaku
Kan kuputar kepalanya menghadapmu

2008


Pergi

Sisa perang kampung kelam
Mengalir air mata kurcaci

Baju loreng muka arang
Membasahi darah ibu pertiwi

Di atas marmer hitam
Tertoreh nama kekasih

2008


Kembalikan Puisiku

Kembalikan puisiku
Setelah sekian lama kau sembunyikan
Dalam semak semak kata, rawa rawa rasa,
Hamparan resah dan gelegar tawa.
Kembalikan puisiku
ketika cemburu luluh pada rindu
Amarah runtuh pada cumbu,
Dan kesetiaanku, teguh pada dustamu.


Jakarta, April 2006

Rabu, 06 Januari 2010

Biarkan Cinta Bicara (Puisi)

Biarkan cinta bicara,

sejujur rasa mengendapi jiwa
Redakan api tersulut murka

Mengapa dusta hinggapi cerita,
sedikit rahasia lalu terbuka
Bukan penjelasan ku pinta,
damai hatiku cobalah engkau jaga

Biarkan luka berbahasa,
bahasa kecewa jiwaku saja
Redupkan cinta antara kita
Cinta yang kupercaya,
begitu mudah terbagi rasa

Pernahkah aku membagi cinta,
setulus cinta kepadamu
Atau hanya mimpiku saja,

terbius ilusi kala terjaga

Sedalam hati yang terluka,
sedikit cinta mungkin tersisa
Biarkan cinta menjadi angin,
untuk kau peluk hadirnya,
namun tak lagi kau miliki


{Penyair Cinta : 6 Januari 2010}

Jumat, 01 Januari 2010

Biografi Tokoh Sastra Indonesia (Taufiq Ismail)

Taufiq Ismail lahir di Bukittinggi, 25 Juni 1935. Masa kanak-kanak sebelum sekolah dilalui di Pekalongan. Ia pertama masuk sekolah rakyat di Solo. Selanjutnya, ia berpindah ke Semarang, Salatiga, dan menamatkan sekolah rakyat di Yogya. Ia masuk SMP di Bukittinggi, SMA di Bogor, dan kembali ke Pekalongan. Pada tahun 1956–1957 ia memenangkan beasiswa American Field Service Interntional School guna mengikuti Whitefish Bay High School di Milwaukee, Wisconsin, AS, angkatan pertama dari Indonesia.

Ia melanjutkan pendidikan di Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan, Universitas Indonesia (sekarang IPB), dan tamat pada tahun1963. Pada tahun 1971–1972 dan 1991–1992 ia mengikuti International Writing Program, University of Iowa, Iowa City, Amerika Serikat. Ia juga belajar pada Faculty of Languange and Literature, American University in Cairo, Mesir, pada tahun 1993. Karena pecah Perang Teluk, Taufiq pulang ke Indonesia sebelum selesai studi bahasanya.Semasa mahasiswa Taufiq Ismail aktif dalam berbagai kegiatan. Tercatat, ia pernah menjadi Ketua Senat Mahasiswa FKHP UI (1960–1961) dan Wakil Ketua Dewan Mahasiswa (1960–1962).Ia pernah mengajar sebagai guru bahasa di SMA Regina Pacis, Bogor (1963-1965), guru Ilmu Pengantar Peternakan di Pesantren Darul Fallah, Ciampea (1962), dan asisten dosen Manajemen Peternakan Fakultas Peternakan, Universitas Indonesia Bogor dan IPB (1961-1964). Karena menandatangani Manifes Kebudayaan, yang dinyatakan terlarang oleh Presiden Soekarno, ia batal dikirim untuk studi lanjutan ke Universitas Kentucky dan Florida. Ia kemudian dipecat sebagai pegawai negeri pada tahun 1964.

Taufiq menjadi kolumnis Harian KAMI pada tahun 1966-1970. Kemudian, Taufiq bersama Mochtar Lubis, P.K. Oyong, Zaini, dan Arief Budiman mendirikan Yayasan Indonesia, yang kemudian juga melahirkan majalah sastra Horison (1966). Sampai sekarang ini ia memimpin majalah itu.

Taufiq merupakan salah seorang pendiri Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), Taman Ismail Marzuki (TIM), dan Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ) (1968). Di ketiga lembaga itu Taufiq mendapat berbagai tugas, yaitu Sekretaris Pelaksana DKJ, Pj. Direktur TIM, dan Rektor LPKJ (1968–1978). Setelah berhenti dari tugas itu, Taufiq bekerja di perusahaan swasta, sebagai Manajer Hubungan Luar PT Unilever Indonesia (1978-1990).Pada tahun 1993 Taufiq diundang menjadi pengarang tamu di Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, Malaysia.Sebagai penyair, Taufiq telah membacakan puisinya di berbagai tempat, baik di luar negeri maupun di dalam negeri. Dalam setiap peristiwa yang bersejarah di Indonesia Taufiq selalu tampil dengan membacakan puisi-puisinya, seperti jatuhnya Rezim Soeharto, peristiwa Trisakti, dan peristiwa Pengeboman Bali.

Hasil karya:
1. Tirani, Birpen KAMI Pusat (1966)
2. Benteng, Litera ( 1966)
3. Buku Tamu Musium Perjuangan, Dewan Kesenian Jakarta (buklet baca puisi) (1972)
4. Sajak Ladang Jagung, Pustaka Jaya (1974)
5. Kenalkan, Saya Hewan (sajak anak-anak), Aries Lima (1976)
6. Puisi-puisi Langit, Yayasan Ananda (buklet baca puisi) (1990)
7. Tirani dan Benteng, Yayasan Ananda (cetak ulang gabungan) (1993)
8. Prahara Budaya (bersama D.S. Moeljanto), Mizan (1995)
9. Ketika Kata Ketika Warna (editor bersama Sutardji Calzoum Bachri, Hamid Jabbar, Amri Yahya, dan Agus Dermawan, antologi puisi 50 penyair dan repoduksi lukisan 50 pelukis, dua bahasa, memperingati ulangtahun ke-50 RI), Yayasan Ananda (1995)
10. Seulawah — Antologi Sastra Aceh (editor bersama L.K. Ara dan Hasyim K.S.), Yayasan Nusantara bekerjasama dengan Pemerintah Daerah Khusus Istimewa Aceh (1995)
11. Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia, Yayasan Ananda (1998)
12. Dari Fansuri ke Handayani (editor bersama Hamid Jabbar, Herry Dim, Agus R. Sarjono, Joni Ariadinata, Jamal D. Rahman, Cecep Syamsul Hari, dan Moh. Wan Anwar, antologi sastra Indonesia dalam program SBSB 2001), Horison-Kakilangit-Ford Foundation (2001)
13. Horison Sastra Indonesia, empat jilid meliputi Kitab Puisi (1), Kitab Cerita Pendek (2), Kitab Nukilan Novel (3), dan Kitab Drama (4) (editor bersama Hamid Jabbar, Agus R. Sarjono, Joni Ariadinata, Herry Dim, Jamal D. Rahman, Cecep Syamsul Hari, dan Moh. Wan Anwar, antologi sastra Indonesia dalam program SBSB 2000-2001, Horison-Kakilangit-Ford Foundation (2002)
Karya terjemahan:
1. Banjour Tristesse (terjemahan novel karya Francoise Sagan, 1960)
2. Cerita tentang Atom (terjemahan karya Mau Freeman, 1962)
3. Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam (dari buku The Reconstruction of Religious Thought in Islam, M. Iqbal (bersama Ali Audah dan Goenawan Mohamad), Tintamas (1964)
Atas kerja sama dengan musisi sejak 1974, terutama dengan Himpunan Musik Bimbo (Hardjakusumah bersaudara), Chrisye, Ian Antono, dan Ucok Harahap, Taufiq telah menghasilkan sebanyak 75 lagu.
Ia pernah mewakili Indonesia baca puisi dan festival sastra di 24 kota di Asia, Amerika, Australia, Eropa, dan Afrika sejak 1970. Puisinya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa, Sunda, Bali, Inggris, Prancis, Jerman, Rusia, dan Cina.
Kegiatan kemasyarakatan yang dilakukannnya, antara lain menjadi pengurus perpustakaan PII, Pekalongan (1954-56), bersama S.N. Ratmana merangkap sekretaris PII Cabang Pekalongan, Ketua Lembaga Kesenian Alam Minangkabau (1984-86), Pendiri Badan Pembina Yayasan Bina Antarbudaya (1985) dan kini menjadi ketuanya, serta bekerja sama dengan badan beasiswa American Field Service, AS menyelenggarakan pertukaran pelajar. Pada tahun 1974–1976 ia terpilih sebagai anggota Dewan Penyantun Board of Trustees AFS International, New York.
Ia juga membantu LSM Geram (Gerakan Antimadat, pimpinan Sofyan Ali). Dalam kampanye antinarkoba ia menulis puisi dan lirik lagu Â"Genderang Perang Melawan NarkobaÂ" dan Â"Himne Anak Muda Keluar dari NerakaÂ" dan digubah Ian Antono). Dalam kegiatan itu, bersama empat tokoh masyarakat lain, Taufiq mendapat penghargaan dari Presiden Megawati (2002).
Kini Taufiq menjadi anggota Badan Pertimbangan Bahasa, Pusat Bahasa dan konsultan Balai Pustaka, di samping aktif sebagai redaktur senior majalah Horison.
Anugerah yang diterima:
1. Anugerah Seni dari Pemerintah RI (1970)
2. Cultural Visit Award dari Pemerintah Australia (1977)
3. South East Asia (SEA) Write Award dari Kerajaan Thailand (1994)
4. Penulisan Karya Sastra dari Pusat Bahasa (1994)
5. Sastrawan Nusantara dari Negeri Johor, Malaysia (1999)
6. Doctor honoris causa dari Universitas Negeri Yogyakarta (2003)
Taufiq Ismail menikah dengan Esiyati Yatim pada tahun 1971 dan dikaruniai seorang anak laki-laki, Bram Ismail. Bersama keluarga ia tinggal di Jalan Utan Kayu Raya 66-E, Jakarta 13120.